Oleh:
Prof. Dr. Mubyarto -- Guru
Besar FE-UGM Yogyakarta, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM
Pendahuluan
Sejak
penerbitan buku kecil Pendidikan Ekonomi Kita (PUSTEP-UGM, 2004) dan
buku ikutannya Pendidikan Ekonomi Alternatif di Sekolah-sekolah Lanjutan
(bersama Awan Santosa), kami makin intensif mengamati cara-cara dan praktek
guru-guru sekolah lanjutan mengajarkan ilmu ekonomi. Pernah satu ketika mata
pelajaran ini disebut ilmu ekonomi koperasi, satu nama yang sebenarnya
lebih tepat karena di Indonesia terutama di perdesaan, tetapi juga di
perkotaan, kehidupan berekonomi masih selalu dijiwai semangat kekeluargaan,
kerjasama antarorang. Misalnya, di kalangan masyarakat Jawa ada ungkapan tuna
satak bathi sanak, yang sangat tepat menggambarkan tindak berekonomi yang
tidak mengutamakan pengejaran keuntungan. Rugi sekalipun (tuna =
rugi), tidak perlu dianggap gagal kalau pada saat yang sama didapat kerabat
baru (sanak = saudara). Ungkapan ini saja cukup untuk membedakan
perilaku homo-ekonomikus ala ekonomi Barat yang pertama-tama diajarkan
dalam ilmu ekonomi di sekolah-sekolah kita, dan homo-socius atau homo-ethicus
ala ekonomi Timur.
Jika
sistem nilai dan budaya Jawa ini masih kita uri-uri (pelihara) sampai
sekarang, tentulah timbul pertanyaan mengapa kita mengajarkan ilmu ekonomi
sejak kelas I SMP bahwa manusia adalah homo-ekonomikus, yang
diidealisasi sebagai manusia rasional yang selalu mengejar untung
sebesar-besarnya, dan jika ia mengkonsumsi barang apapun selalu mengejar kepuasan
maksimum. Sebenarnya seorang sosiolog Jerman F. Tonnies mengingatkan adanya
dua jenis masyarakat yaitu masyarakat paguyuban (gemeinschaft)
dan masyarakat patembayan (gesellschaft), yang pertama berarti
masyarakat “kolektif” yang masih menjunjung tinggi semangat
gotong-royong dan tolong-menolong, sedangkan yang kedua berarti masyarakat individualisik
yang setiap anggotanya lebih menonjolkan kepentingan diri sendiri, tidak peduli
kepentingan orang lain.
Jika kini
orang mulai sadar dan bertanya-tanya mengapa terjadi perkembangan pemikiran
yang cenderung menjauhi tradisi dan budaya asli bangsa, dan orang mulai
mengadopsi nilai dan budaya luar (Barat), ada baiknya kita gali lebih dalam
berbagai sebabnya. Apa yang salah pada bangsa Indonesia yang rupanya “demi
kemajuan” telah “menerima” dan menerapkan sistem nilai asing yang tidak dikenal
dalam budaya luhur kita?
Dari Adam Smith
ke Soekarno-Hatta
Sangat
sedikit sarjana ekonomi di manapun, lebih-lebih di Indonesia, yang menyadari
kekeliruan, bahwa Adam Smith dikenal sebagai Bapak Ilmu Ekonomi dunia
semata-mata karena bukunya Wealth of Nations (1776). Karena kekeliruan
ini maka kebanyakan sarjana ekonomi juga mengira bahwa julukan homo-ekonomikus
pada setiap manusia merupakan satu-satunya pencirian asli atau khas Adam
Smith. Akibatnya, banyak pakar yang menjadi “ekonom” setelah memperoleh
kepakaran di luar bidang ilmu ekonomi, misalnya insinyur, sangat asing dengan
pandangan Smith yang sebenarnya tidak pernah menutup-nutupi pandangan yang
“mencurigai” perilaku dunia bisnis antara lain dengan ungkapan berikut:
People of the same trade seldom
meet together even for merriment and diversion, but the conversation ends in a
conspiracy against the public, or in some contrivance to raise prices (Adam Smith, 1776:144).
(Orang-orang
yang berbisnis sama jarang bertemu, bahkan untuk bersenang-senang atau untuk
mengisi waktu-waktu luang sekalipun, namun (kalau mereka ketemu)
pembicaraan-pembicaraan mereka berakhir dengan persekongkolan melawan
kepentingan umum, atau dengan menemukan cara-cara untuk menaikkan harga-harga)
Sebelum
menulis buku Wealth of Nations sebenarnya Adam Smith, ketika 17 tahun
lebih muda, menulis buku lain yang lebih “berat”, karena lebih “filosofis”
yaitu The Theory of Moral Sentiments (1759). Dalam buku pertama
ini Smith menyakinkan pembacanya bahwa setiap manusia sangat menyukai hidup
sebagai warga masyarakat, yang berarti manusia tidak menyukai hidup yang
berciri individualistik atau sekedar mementingkan diri sendiri.
Man it has been said, has a
natural love for society, and desires that the union of mankind should be
preserved for its own sake, and through he himself was to derive no benefit
from it.
(Telah dikatakan bahwa manusia
memiliki sifat alamiah mencintai masyarakatnya, dan menginginkan dipeliharanya
kesatuan umat manusia demi kebaikan manusia itu sendiri, meskipun ia sendiri
tidak memperoleh manfaat sedikitpun dari padanya).
Jika kita
baca sekaligus kedua buku Smith tersebut secara benar, sebagai satu kesatuan,
harus disimpulkan bahwa Bapak Ilmu Ekonomi dunia ini bukanlah penganut paham
dan penyebar ilmu ekonomi kapitalis liberal yang amoral. Paham
liberalisme-imperialisme baru berkembang satu abad sesudah terbitnya buku-buku
Adam Smith tersebut yaitu ketika kaum pemodal atau para pemilik modal Eropa
Barat “merajalela” di seluruh dunia menjarah tanah-tanah jajahan sumber “harta
karun” yang sangat bermanfaat bagi ibu negara (motherland).
Indonesia
yang dijadikan negara jajahan selama 350 tahun melahirkan pemikir-pemikir ekonomi
kebangsaan brilyan yang mampu menyadarkan bangsanya akan
kejahatan-kejahatan ekonomi para penjajah. Ir. Soekarno yang berkali-kali
menyatakan “tidak tahu ekonomi”, karena tidak pernah belajar ilmu ekonomi
secara formal seperti rekan seperjuangannya, dan kelak juga koproklamator
kemerdekaan dan Wakil Presidennya, Drs. Moh. Hatta, harus diakui menunjukkan
pemahaman mendalam mengenai ekonomi Indonesia. Dalam bukunya Indonesia
Menggugat yang merupakan pidato pembelaannya ketika diadili Landraad
Bandung bulan Agustus 1930, Bung Karno menguraikan panjang lebar mengapa ekonomi
rakyat Indonesia dihisap dan ditekan oleh pemerintah penjajah Belanda yang bersekongkol
dengan perusahaan-perusahaan besar milik pemodal-pemodal Belanda. Namun yang
diserang Bung Karno sebenarnya bukan pemerintah Belanda tetapi sistem
kapitalisme dan imperialisme, satu paham atau satu isme yang telah
“mencelakakan rakyat dan bangsa Indonesia”.
Kami memang pernah menyatakan
rubuhkanlah imperialisme, rubuhkanlah kapitalisme! –kami memang pernah
mengatakan “imperialisme jahat, kapitalisme angkara murka, imperialisme
mencelakakan kita, kapitalisme merusak rakyat, dan lain-lain sebagainya.-
tetapi adakah bisa jadi, bahwa kami memaksudkan dengan perkataan imperialisme
itu pemerintah yang sekarang atau keamanan umum, adakah bisa jadi bahwa kami
memaksudkan dengan kapitalisme itu bangsa Belanda atau bangsa asing yang lain?
Kapitalisme dan imperialisme,
Tuan-tuan Hukim, kapitalisme dan inperialisme sebagai kami uraikan di awal kami
punya pidato, dengan disokong dalil-dalil orang yang ternama, bukanlah bangsa
Belanda, bukanlah bangsa asing yang lain, bukanlah kaum BB, bukanlah kekuasaan
pemerintah, bukanlah suatu badan atau materi –kapitalisme dan imperialisme
sebagai tiap-tiap perkataan yang berakhiran “isme” adalah suatu paham,
suatu pengertian, suatu sistem!
Sistem ini yang mencelakakan,
sistem ini yang jahat, sistem ini yang harus dirubuhkan, bukan bangsa asing,
bukan pemerintah, bukan kekuasaan pemerintah! Amboi, adakah kami begito goblok,
adakah kami kurang otak atau barangkali miring otak, mengira bahwa imperialisme
= kekuasaan pemerintah, kapitalisme = bangsa asing? (Soekarno, 1930, Indonesia Menggugat, Departemen
Penerangan, 1952: 177-178).
Demikian
dengan mempelajari sejarah pemikiran ekonomi para perintis kemerdekaan
bangsa dan para pendiri negara (founding fathers), anak-anak didik kita
tidak seyogyanya diberi kesan keliru bahwa ilmu ekonomi hanya berkembang
di Barat, dan hanya menjadi “olah pikir” pemikir-pemikir Barat, meskipun benar
Adam Smith telah merenung dan menulis demi kemajuan kemanusiaan seluruh umat
manusia. Jika
Ilmu Ekonomi di tangan Adam Smith atau John Stuart Mill adalah untuk kemajuan
kemanusiaan, “ilmu ekonomi” di tangan Soekarno-Hatta adalah alat perjuangan,
perjuangan untuk meruntuhkan paham kapitalisme-imperialisme, yang telah
benar-benar mencelakakan rakyat Indonesia. Bahwa akhirnya Soekarno dihukum 4
tahun penjara setelah gagal membela dirinya dengan berargumentasi ekonomi
memperjuangkan rakyat kini telah menjadi sejarah, tetapi justru karena telah
menjadi sejarah itulah, anak-anak kita harus mempelajari sejarah itu. Pertama,
sebagai ucapan terima kasih dari generasi sekarang kepada para pejuang
kemerdekaan kita, dan kedua, sebagai upaya untuk membuat pelajaran ilmu
ekonomi relevan dengan kondisi sosial-ekonomi yang kini dihadapi
bangsanya. Harus dicatat bahwa kondisi ekonomi kemarin dan apa yang
dapat dilakukan generasi sekarang akan membentuk kondisi ekonomi bangsa
di masa datang.
Dalam
membahas pikiran-pikiran ekonomi Bung Karno dan Bung Hatta, tokh ada sementara
pakar ekonomi kita yang menganggap pikiran-pikiran ekonomi Bung Hatta “kurang
revolusioner” karena Hatta muda
bersekolah di Negeri Belanda, sedangkan Soekarno muda (hanya) di Bandung
sehingga justru lebih revolusioner.
Terhadap
keraguan ini saya tidak sependapat. Pikiran-pikiran Bung Hatta sebagaimana
dimuat dalam majalah Daulat Rakyat tahun 1934 dan seterusnya setelah
kembali dari Belanda tetap revolusioner, membela dan memperjuangkan kepentingan
ekonomi rakyat yang dibela Bung Karno tahun 1930 di Landraad Bandung.
Dalam tulisannya Ekonomi Rakyat Dalam Bahaya (1934), Bung Hatta
memprotes karena pemerintah penjajah hanya memikirkan kepentingan onderneming
(perkebunan-perkebunan besar) yang terkena dampak depresi dunia sejak 1929, dan
sama sekali tidak memikirkan kehidupan ekonomi rakyat yang juga terpukul
yang justru lebih parah oleh depresi dunia yang sama.
Bagaimana juga perbedaan paham
antara GG yang satu dengan GG yang lain , dalam satu fasal mereka mempunyai
kesalahan yang sama, yaitu kemakmuran negeri senantiasa diukur kepada majunya onderneming-onderneming
Barat yang ada dan yang bakal ditimbulkan. Dan ekonomi rakyat tidak
pernah mendapat pimpinan yang sepatutnya.[3][2] (Hatta,
2002: 243)
[4]2] Hatta, Moh., 1934, “Ekonomi
Rakyat Dalam Bahaya”, dalam Daulat Rakyat No. 84, Tahun ke IV, 10
Januari 1934. Diterbitkan kembali dalam Daulat Rakyat Buku 2, 2002,
Yayasan Hatta, Jakarta.
Kelebihan
dan kemajuan Hatta dibanding Soekarno dalam analisis ekonomi memang jelas,
karena Hatta yang belajar ilmu ekonomi dan mendapat kesempatan mempelajari
usaha-usaha koperasi di Denmark mengembangkan gagasan-gagasan koperasi sebagai
wadah kegiatan ekonomi rakyat.
Di dalam keadaan ekonomi kolonial
semacam itu, di mana pergerakan kemerdekaan mencita-citakan Indonesia Merdeka
yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur di kemudian hari, hiduplah keyakinan
bahwa bangsa Indonesia dapat mengangkat dirinya keluar dari lumpur, tekanan dan
hisapan, apabila ekonomi rakyat disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan kooperasi.... Cita-cita kooperasi Indonesia menentang
individualisme dan kapitalisme secara fundamentil. (Hatta, 1983: 224, 228)
Metode Mengajar Ilmu Ekonomi
Seorang
guru yang mengajar ilmu ekonomi, disamping harus menguasai ilmu yang
diajarkan, juga diharapkan mengetahui metode mengajar yang baik dan
tepat, sekaligus mampu menerapkannya. Ini memang bukan pekerjaan mudah,
lebih-lebih mengingat sarana-prasarana pendidikan masih sangat tidak terpenuhi.
Misalnya, sudah umum diketahui bahwa penghasilan guru-guru (dan dosen perguruan
tinggi) sangat rendah sehingga jika guru hanya mengandalkan penghasilan tetap
bulanan saja ia tidak dapat menghidupi keluarga. Sudah sering disebutkan bahwa
gaji guru atau dosen-dosen perguruan tinggi kita rata-rata hanya 1/20 gaji guru
dan dosen yang berpangkat sama di negara tetangga, Malaysia. Inilah salah satu
alasan pokok mereka tidak (dapat) mencurahkan perhatian penuh pada pelaksanaan tugas-tugas
pokoknya. Mereka harus “ngobyek” untuk menambah penghasilan, dan bagi dosen,
mengajar di berbagai perguruan tinggi yang juga tumbuh menjamur di mana-mana
termasuk di kota-kota kecil sekalipun, seperti di Sendawar, Ibu kota Kabupaten
Kutai Barat yang baru berdiri sebagai kabupaten tahun 1999.
Sarana-prasarana
bagi guru-guru sekolah lanjutan masih lebih buruk lagi, termasuk laboratorium
dan perpustakaan yang tidak dimiliki, atau ada tetapi kondisinya tidak memadai,
sehingga kebanyakan sulit disebut sebagai sekolah yang memenuhi syarat.
Salah
satu kekurangan lain sebagai akibat dari buruknya sarana/prasarana pendidikan
adalah penggabungan pemberian pelajaran yang seharusnya diberikan 2 atau 3 kali
per minggu menjadi hanya sekali seminggu. Dan di perguruan tinggi, mata kuliah
yang bernilai 3 SKS (satuan kredit semester) pun juga hanya diberikan 1 kali
seminggu selama 120 menit, padahal di negara-negara yang sudah maju mata kuliah
yang sama harus diberikan 3 kali per minggu @ 50 menit. Maka dapat disimpulkan
betapa sangat sedikit materi/ pelajaran yang diperoleh atau diserap
murid/mahasiswa setiap minggunya.
Ilmu
ekonomi, tak boleh dilupakan adalah ilmu sosial yang harus secara
lengkap diajarkan secara deduktif maupun induktif, yang oleh
Alfred Marshall, Bapak Teori Ekonomi Neoklasik, diibaratkan 2 kaki (kanan dan
kiri) untuk berjalan. Maka jika hanya satu metode saja yang dipakai akan
pincang, dan hasilnya pasti mengecewakan. Karena hampir semua guru/dosen
biasanya ingin “menghemat waktu”, maka dipilihlah metode yang paling mudah dan
paling murah yaitu metode deduktif, dengan sepenuhnya berpegang pada
buku teks (textbook), tanpa upaya apapun memberikan contoh-contoh data
empirik dari lapangan atau lingkungan murid/mahasiswa setempat. Akibatnya
seorang murid atau mahasiswa yang sudah lulus dengn nilai sangat baik dalam
ilmu ekonomi tidak memahami kehidupan ekonomi di sekitar murid/mahasiswa,
apalagi mengetahui cara-cara memecahkan masalah-masalah ekonomi
masyarakat.
Pengajaran
ilmu ekonomi dengan metode deduktif dan induktif sekaligus dapat dengan mudah
dilakukan tetapi dengan mengkaitkannya dengan penelitian. Inilah yang dikenal
dengan istilah teaching through research (mengajar melalui penelitian).
Dalam cara mengajar yang demikian, murid/mahasiswa diajak meneliti oleh
guru/dosen dalam “tim penelitian”, yang berarti guru/dosen juga terus-menerus
“ikut belajar” bersama murid/mahasiswa. Inilah yang juga disebut problem-posing
education (pendidikan dengan mengetengahkan masalah-masalah praktis pada
peserta didik), yang dilawankan dengan banking education yang
semata-mata berarti pemindahan/mendeposit ilmu pengetahuan kepada peserta
didik.
Demikian
kiranya jelas perlunya revolusi total sistem pendidikan imu ekonomi di
sekolah-sekolah/perguruan tinggi kita, meskipun perubahan sistem itu memang
mutlak harus dibarengi penyediaan sarana-prasarana yang benar-benar memadai.
Ilmu Ekonomi Multidisipliner
Guru-guru
ilmu ekonomi yang serius pasti memahami adanya kaitan erat antara pelajaran
ilmu ekonomi sebagai ilmu sosial dengan cabang-cabang ilmu sosial lain
seperti ilmu sosiologi, ilmu politik, ilmu hukum, ilmu
bumi (geografi), dan ilmu sejarah. Karena kaitan yang sangat erat
antara berbagai cabang ilmu ini, maka mempelajari ilmu-ilmu tersebut secara terpadu
multidisipliner akan membawa hasil lebih baik.
Pada awal
lahirnya, ilmu ini diberi nama political economy (ilmu ekonomi politik),
dan bukan economics seperti sekarang. Bahkan sudah disebut di atas, buku
Adam Smith yang menandai kelahiran ilmu ekonomi “modern” tidak diberi judul political
economy apalagi economics. Tokoh-tokoh ekonomi klasik sesudah Smith
yaitu J.S. Mill dan David Ricardo memberi judul buku mereka Principles of
Political Economy, sedangkan T.R. Malthus memberi judul buku ekonominya Essay
on Population.
Di
Indonesia pakar ekonomi paling awal sesudah Moh. Hatta adalah Sumitro
Djojohadikusumo, yang seperti halnya Hatta, belajar ilmu ekonomi di Negeri
Belanda, Rotterdam, dengan menulis disertasi Masalah Kredit di Zaman Depresi
(1943). Buku ilmu ekonomi yang ditulis
Sumitro diberi judul Ekonomi Penbangunan (1955) dan Ekonomi Umum (1957)
yang berarti bahwa menurut pandangannya tugas ilmu ekonomi bersifat makro yaitu
membantu pemerintah menyusun kebijakan-kebijakan ekonomi untuk mencapai tujuan
pembangunan masyarakat. Sumitro yang pendiri dan dekan pertama Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia (FE-UI) dikenal pula sebagai perintis The Jakarta
School of Economics, yang menerapkan ajaran Keynes di Indonesia, yaitu
mengajarkan perlunya intervensi pemerintah dalam perekonomian nasional,
atau membatasi kebebasan mekanisme pasar agar tidak merugikan
masyarakat. Sumitro kemudian mendapat kesempatan menerapkan pikiran-pikirannya
dalam kebijakan ekonomi praktis ketika beberapa kali dipercaya menjadi menteri
(keuangan, perekonomian, perdagangan), dan terakhir 1968-1974 sebagai menteri
perdagangan Kabinet Pembangunan I di bawah Presiden Soeharto.
Ketika
Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada berdiri tahun 1955 (dipisah dari
Fakultas-fakultas Hukum dan Sosial-Politik), dikenal 4 jurusan yaitu Agraria,
Sosiologi, Kenegaraan, dan Perusahaan. Dibukanya 2 jurusan
yaitu Agraria dan Sosiologi, menunjukkan keinginan menjadikan ilmu ekonomi relevan
dengan masalah ekonomi yang dihadapi masyarakat-bangsa. Lebih-lebih
dengan jurusan ekonomi sosiologi berarti ada pengakuan kaitan erat antara ilmu
ekonomi dan ilmu sosiologi. Artinya, sebagaimana ditekankan oleh Adam Smith
dalam TMS (Theory of Moral Sentiments), manusia sangat terikat pada
masyarakat tempat ia hidup, dan perilakunya juga tidak berciri individualistik,
tetapi justru dibentuk dan diwarnai oleh masyarakatnya.
Bahwa
faktor-faktor ekonomi, politik, dan budaya amat sulit dipilah, digambarkan
dengan baik oleh pengalaman teori dan praktek. Sajogyo, pensiunan Gurubesar
sosiologi perdesaan IPB, pada rekfleksi kariernya bulan Desember 2003,
menuturkan kembali pertukaran pikirannya dengan David Penny (alm), ekonom
pertanian dari Australia, sebagai berikut:
Jika Anda ingin mengerti perekonomian
negeri kami, kajilah kebudayaan dan sistem politik kami; jika
ingin memahami kebudayaan dan sistem politik kami, kajilah perekonomian
kami (Sajogyo, 2003:1).
Dari
pernyataan ini tidak diragukan bahwa pengajaran ilmu ekonomi sebagai monodisiplin
tidak mampu menjadikan siswa memahami apalagi memecahkan masalah-masalah
kongkrit yang dihadapi masyarakat-bangsa Indonesia. Dengan perkataan lain ilmu
ekonomi hanya akan efektif sebagai pisau analisis jika digunakan bersama ilmu-ilmu
sosial lain termasuk dan terutama ilmu politik, ilmu budaya, dan etika.
Mengorganisasi
Materi Ajar Ilmu Ekonomi
Salah satu misi KBK adalah untuk memadukan penguasaan berbagai
materi pelajaran sehingga siswa memiliki kompetensi lintas kurikulum,
kompetensi umum, dan kompetensi dasar mata pelajaran. Indikator
masing-masing kompetensi tersebut sudah dirumuskan Depdiknas dengan baik,
normatif, dan komprehensif. Masalah muncul ketika harus mewujudkan kegiatan
belajar-mengajar seperti apa yang dapat mendukung maksud-maksud di atas.
Meskipun ada pembaruan capaian, metode, dan pendekatan, tokh kurikulum
yang ada sekarang belum benar-benar mencerminkan perpaduan materi, sehingga
metode pengajaran ilmu ekonomi masih bersifat monodisiplin, parsial, dan
terkotak-kotak. Materi yang diajarkan masih sama, hanya terkesan “diotak-atik”
tanpa pemikiran utuh yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Materi ilmu
ekonomi masih konvensional, demikian pula dengan materi PPKn, Geografi,
Sejarah, dan Sosiologi, belum terlihat hasil yang menunjukkan keseriusan
perancang kurikulum dalam memadukan berbagai materi ajar tersebut sehingga
menjadi kesatuan pembelajaran yang padat-terpadu.
Susunan Garis-Garis Besar Program Pengajaran Dan Penilaian Pada Sistem
Semester (Ditjen Dikdasmen, 2003) menunjukkan masih kuatnya sekat-sekat
antar mata pelajaran yang sebenarnya berkaitan erat. Materi pelajaran ekonomi
yang komplek dan “berat-berat” disusun hanya dalam 3 halaman, sementara materi
PPKn yang berupa nilai-nilai (value) disusun dalam 17 halaman. Mengapa
tidak justru nilai-nilai (ideologi) ini yang dipadukan dalam materi-materi ilmu
sosial, khususnya materi ekonomi? Dalam materi-ajar PPKn dikupas tuntas
masalah-masalah keadilan sosial, asas kekeluargaan, sistem ekonomi Indonesia,
trilogi pembangunan, nasionalisme (rasa kebangsaan) di era globalisasi,
demokrasi ekonomi, dan bahkan juga Sistem Ekonomi Pancasila. Bukankah
ini esensi kontekstualisasi ilmu ekonomi sesuai kondisi riil bangsa Indonesia?
Mengapa materi-ajar ini justru sama sekali “asing’ dalam kurikulum materi-ajar
ilmu ekonomi?
Di sisi lain, materi ekonomi dalam kurikulum “KBK” tersebut diberikan
tanpa visi moral dan kontekstual yang jelas, “dogmatis”, dan bersifat “padat
materi” ketimbang “padat nilai”. Dogmatis karena sejak pertama kali menerima
pelajaran ekonomi siswa sudah dipaksa menerima kebenaran “dalil-dalil” ekonomi
bahwa manusia adalah homo economicus, yang kebutuhannya tidak terbatas
(keserakahan alam benda), dan sumber-sumber pemenuhannya terbatas. Dalam
Pedoman Khusus Pengembangan Silabi dan Penilaian Mata Pelajaran Ekonomi (Dikmenum,
2003) sudah ditegaskan bahwa dalil itu merupakan kenyataan yang menjadi
karakteristik mata pelajaran ekonomi. Ilmu ekonomi yang diarahkan pada analisis
kelangkaan mendapat pembenaran dengan pernyataan bahwa “apabila sumber
ekonomi keberadaanya melimpah (baca : tidak langka) maka ilmu ekonomi tidak
diperlukan lagi bagi kehidupan manusia”. Inilah alasan tidak ditonjolkaanya
bahasan mengenai “keadilan ekonomi” yang didasari kenyataan terdapatnya masalah
kemiskinan dan ketimpangan dalam distribusi kekayaan dan pendapatan.
Pengajaran PPKn tanpa dipadu ilmu (materi) ekonomi kongkrit tidak akan
memiliki kekuatan apapun. Begitu pula sebaliknya, pengajaran ekonomi tanpa
dipadu nilai-nilai, moral, dan etika dalam pelajaran PPKn akan kehilangan arah
(visi). Hal ini berlaku pula bagi perpaduan materi ekonomi dengan materi
ilmu-ilmu sosial yang diajarkan seperti sejarah, geografi, sosiologi, dan
antropologi. KBK menuntut pengembangan metode mengajar induktif-empirik
melalui kajian langsung di lapangan. Guru-guru ekonomi harus mampu bekerjasama
dengan guru-guru ilmu sosial yang materinya berkaitan erat untuk mendisain
kajian lapangan secara multidisipliner. Dengan cara demikian siswa tidak
mendapat pemahaman ilmu ekonomi secara sepotong-potong, terpisah, bahkan
terkadang saling bertolakbelakang.
Perpaduan ini tidak berhenti pada penyelenggaraan kajian lapangan secara
bersama sama. Analisis kajian lapangan harus merupakan kesatuan yang utuh yang
menggambarkan keterkaitan antara disiplin ilmu ekonomi dengan disiplin ilmu
sosial lain dalam memecahkan dan mengamati suatu masalah tertentu.
Mengorganisasikan materi yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi guru dan
siswa dapat dilakukan dengan tiga cara sekaligus. Pertama, guru ekonomi
harus mempelajari materi-materi ilmu lain yang berkaitan erat dengan materi
yang diajarkannya (sejarah, sosiologi, dan geografi). Kedua, guru
ekonomi harus sering bertukar pikiran dengan guru-guru ilmu terkait untuk
mengembangkan metode mengajar dengan pendekatan multidisipliner. Ketiga,
guru ekonomi mengajar melalui diskusi kelas (satu kelas-satu topik)
bersama-sama dengan guru ilmu-ilmu terkait.
Pendekatan multidisipliner tidak banyak membantu jika pengorganisasian
materi pelajaran ekonomi tidak dilakukan secara tepat. Dalam buku Kurikulum dan
Hasil Belajar – Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Ekonomi SMA dan MA (Puskur,
Balitbang Depdiknas, 2002) dijelaskan bahwa pengorganisasian materi
pelajaran ekonomi di SMA/MA dimulai dari “masalah-masalah ekonomi yang terjadi
di lingkungan kehidupan yang terdekat hingga pada lingkungan yang terjauh”.
Sepintas lalu pengorganisasian seperti ini mencerminkan pembelajaran berdasar
lokalitas-kontekstual masalah riil yang dihadapi siswa. Namun, bukankah masalah
antarindividu, keluarga, masyarakat dan daerah tidak seragam? Bukankah tingkat
kepentingan (urgensi) masalah tersebut juga bisa berbeda-beda. Pengorganisasian
materi yang demikian cenderung berorientasi pada masalah-masalah yang bersifat
individualistik berkisar pada kepentingan pribadi (self interest). Maka
dapat dimengerti bahwa materi pertama yang diajarkan adalah pilihan dan biaya
peluang, diikuti maksimisasi keuntungan, perilaku produsen/konsumen
dan seterusnya, bukannya masalah-masalah mendesak yang dihadapi
masyarakat-bangsa Indonesia seperti kemiskinan, produktivitas rendah, dll.
Mengapa materi tidak diorganisasikan berdasar tingkat kedalaman masalah
ekonomi yang dihadapi?. Pengorganisasian materi ajar seharusnya dimulai dari pemecahan
masalah ekonomi terberat yang dihadapi rakyat, baik yang ada di sekitar
siswa maupun yang terjauh sekalipun. Pengorganisasian seperti ini mensyaratkan
perhatian pada masalah ekonomi yang dihadapi rakyat, yang dapat dirujuk pada
cita-cita konstitusi.
Oleh karena itu, materi ajar yang sebaiknya dipelajari terlebih dulu
adalah sejarah ekonomi, cita-cita kehidupan ekonomi dalam konstitusi (pasal 27
dan pasal 33 UUD 1945, termasuk koperasi), dan sistem ekonomi. Dalam
pokok-pokok bahasan tersebut secara implisit terkandung masalah-masalah ekonomi
ysng dihadapi rakyat yaitu masalah kemiskinan dan ketimpangan (ketidakadilan
ekonomi). Barulah kemudian analisis mendalam diperlukan untuk mempelajari
teori-teori ekonomi, kegiatan ekonomi lokal, nasional, dan global, pasar,
peran/kebijakan pemerintah, yang diajarkan dengan visi memecahkan masalah-masalah
ekonomi sesuai amanat konstitusi yang telah dipelajari di awal pelajaran.
Pembagian materi ekonomi di kelas 1, 2, dan 3 SMU dapat mengikuti pola ini
dengan peluang untuk me-review pelajaran-pelajaran sebelumnya.
Beberapa guru ekonomi mengeluh mengapa di awal pelajaran mereka sudah
diminta mengajar konsep biaya peluang yang mereka sendiri masih kurang
paham. Setelah mereka mendapat “ceramah” tentang materi tersebut, mereka merasa
bukannya makin “kompeten” tetapi justru makin tidak paham. Bagaimana halnya
dengan siswa yang baru masuk ke SMU?
Apakah guru dan siswa paham bahwa itulah masalah ekonomi terdekat yang
dihadapinya? Jika ya, pastilah mereka tidak sulit menemukenali dan
memecahkannya. Kenyataan ini makin menunjukkan bahwa pengorganisasian materi
ekonomi dalam KBK tidak didasarkan pada argumentasi yang jelas dan tepat. Dalam
era otonomi pendidikan, guru-guru ilmu ekonomi seyogyanya tidak lagi dipaksa
menerima begitu saja kebenaran materi ekonomi dan pilihan pengorganisasiannya
tanpa didasari pertimbangan ilmiah.
Ilmu Ekonomi dan
Sistem Ekonomi
Mengapa kepada siswa diajarkan materi tentang sistem ekonomi?
Pertanyaan ini terkait dengan idealisasi yang harus dipahami dan dimiliki oleh
penyusun kurikulum dan guru ekonomi. Pengajaran suatu materi ekonomi harus
didasarkan pada idealisasi atau visi tertentu baik yang bersifat normatif maupun yang bernilai
sejarah. Ini mengikuti pandangan bahwa ilmu (materi) yang diajarkan tidaklah
bebas nilai (value-free) melainkan justru sarat nilai. Oleh karena itu
paham positivisme ilmu harus ditolak. Setiap kenyataan (das sollen)
harus dikaitkan dengan idealitanya (das sein) begitupun sebaliknya.
Pandangan ini menjawab keluhan guru-guru ilmu ekonomi yang merasa menghadapi
kesulitan dalam menyelaraskan kenyataam dengan materi sistem ekonomi nasional
yang akan diajarkan. Guru ekonomi harus mempunyai visi dan idealisme mengapa
sistem ekonomi nasional begitu penting untuk diajarkan kepada siswa.
Mengajarkan sistem ekonomi patut dipahami sebagai upaya mengembangkan sistem
ekonomi nasional yang sesuai dengan tujuan nasional yaitu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Kepada siswa perlu disampaikan pemahaman
bahwa sistem tidak lain dari aturan main. Jadi sistem ekonomi
adalah aturan main yang menjadi pedoman umum tindakan-tindakan setiap
pelaku ekonomi.
Tujuan mengajarkan materi sistem ekonomi harus dikuasai sebaik
penguasaan guru atas materi itu sendiri. Tanpa itu pendidikan ekonomi hanya
bermakna sebagai ajang transfer materi sistem ekonomi yang cenderung
pragmatis, formalistik, dan ritualistik. Pragmatisme ini mengakibatkan
merosotnya kualitas pendidikan ilmu ekonomi dengan hasil tidak dikuasainya
pemahaman nilai dan materi sistem ekonomi oleh siswa. Tujuan untuk memahamkan
siswa terhadap sistem ekonomi nasional yang ideal dan yang riil pun sulit
terwujud. Pengajaran sistem ekonomi sebagai upaya mengembangkan dan memperbarui
sistem ekonomi yang khas Indonesia justru berubah menjadi tempat mengukuhkan
dominasi sistem dan paham ekonomi konvensional. Gagasan-gagasan sistem ekonomi
nasional dari para pemikir-pemikir ekonomi bangsa sendiri tidak mendapat
perhatian yang memadai. Ini melanggengkan kondisi status quo di mana
pendidikan ilmu ekonomi merupakan produk sistem ekonomi yang berkembang,
bukannya sistem ekonomi yang merupakan hasil dari proses pendidikan ekonomi di
setiap tingkatan.
Materi apa tentang sistem ekonomi yang seharusnya diajarkan? Pertanyaan ini mengarahkan pilihan pada
materi-materi ajar yang relevan dan bermanfaat bagi siswa, khususnya dalam
kontek pengajaran sistem ekonomi. Relevan berarti materi sistem ekonomi harus
bersifat kontekstual, mengajarkan idealita sekaligus realita sistem ekonomi
yang dikaitkan dengan sistem nilai sosial-budaya bangsa Indonesia. Untuk itu
materi Sistem Ekonomi Pancasila menjadi alternatif yang lebih masuk akal
untuk diajarkan dan dikembangkan bersama mulai tingkat sekolah lanjutan. Ini
memang memerlukan perbandingan dengan materi sistem ekonomi lain yang
berkembang di dunia (Kapitalisme-Sosialisme-Komunisme) sehingga
pemahaman siswa lebih komprehensif. Siswa diharapkan memahami ciri-ciri dan
kekuatan/kelemahan setiap sistem ekonomi, mampu menentukan pilihan sistem yang
sesuai dan terbaik bagi bangsa Indonesia, dan siswa kemudian bersemangat untuk
menggali (memperdalam pemahaman) sistem ekonomi yang khas Indonesia.
Kadang-kadang pertimbangan pragmatis lebih menentukan dalam
menyusun materi-ajar (silabi) dibanding pertimbangan ideologis
(esensial). Mungkin karena dinilai tingkat kesulitan materinya rendah, tidak
begitu mendesak diajarkan, dan tidak sering dijadikan bahan ujian (perguruan
tinggi), materi sistem ekonomi dalam KBK ditempatkan di kelas 3, sebagai
pelajaran terakhir. Tentu saja pengajarannya tidak mungkin efektif karena siswa
sudah mulai berkonsentrasi pada ujian akhir dan tes untuk masuk perguruan
tinggi. Di kelas 1 materi sistem ekonomi ini hanya sedikit sekali disinggung
dengan penekanan lebih pada analisis masalah ekonomi produksi, distribusi,
dan konsumsi. Sistem ekonomi terkait erat dengan sejarah ekonomi yang
perlu dipahami sejak awal oleh siswa sebagai dasar analisis ekonomi lebih
lanjut. Sistem ekonomi memuat ideologi, perangkat nilai, moral, dan
aturan-aturan ekonomi yang dapat dijabarkan dalam bahasan-bahasan konsep dan
teori ekonomi. Materi sistem ekonomi sangat strategis, komplek, dan tidak
semudah anggapannya sebagai materi yang hanya sekedar dihapalkan.
Bagaimana cara mengajarkannya? Pertanyaan ini mencakup pilihan
metode-metode pengajaran yang harus mendekatkan pada pencapaian idealisasi dan
tujuan pembelajaran. Patut disadari bahwa guru ilmu ekonomi harus memahami
pentingnya pengajaran sistem ekonomi sehingga ia selalu berupaya mengembangkan
pemahaman materinya. Guru yang menguasai materi akan mudah menerapkan inovasi
metode mengajar yang memudahkan siswa dalam menguasai materi. Guru ekonomi akan
menyadari perlunya kajian langsung di lapangan untuk membantu siswa mengamati
praktek-praktek ekonomi yang menjadi satu kesatuan sistem ekonomi. Demikian
pula halnya, siswa akan menemukan masalah-masalah baik dalam upaya-upaya
pengembangan sistem ekonomi nasional maupun masalah-masalah yang dihadapi
masyarakat sebagai akibat kelirunya sistem ekonomi yang diterapkan seperti masalah kemiskinan dan ketimpangan
ekonomi. Mereka harus memikirkan cara-cara memecahkan masalah tersebut
sekaligus upaya-upaya mengembangkan sistem ekonomi yang bermoral, demokratis,
dan berkeadilan sosial.
Kelas harus dihidupkan dengan diskusi-diskusi sistem ekonomi yang
merujuk pada materi-materi dari buku-buku bacaan (reading), pendapat
pakar-pakar, khususnya pakar-pakar ekonomi Indonesia, dan buku-buku teks
ekonomi. Dalam kesempatan tertentu dapat dihadirkan tokoh/pemikir ekonomi yang
peduli dengan masalah pengembangan sistem ekonomi di Indonesia. Pembahasan
materi sistem ekonomi perlu dikaitkan dengan topik-topik sosial-ekonomi aktual
sehingga lebih menarik bagi siswa. Pada akhirnya siswa akan merasakan banyak
manfaat dari belajar mengenai ulmu ekonomi dan sistem ekonomi.
Penutup
Setelah
10 tahun kurikulum 1994 diberlakukan, pakar-pakar pendidikan dalam koordinasi
Depdiknas bersepakat untuk melaksanakan kurikulum baru yang disebut KBK (Kurikulum
Berbasis Kompetensi). Kurikulum baru ini dianggap merupakan “kemajuan besar”
dibanding kurikulum 1994 karena diharapkan mampu menghasilkan siswa yang tidak
saja berpengetahuan, tetapi sekaligus mampu berbuat, bertindak atau
mengerjaka, artinya disamping pendidikan menghasilkan pengetahuan (kognitif)
juga afektif (perilaku) dan psikomotorik (bertindak).
Untuk
dapat melaksanakan KBK guru juga harus lebih kompeten artinya memiliki
pengetahuan, kecakapan, dan keterampilan, yang jauh lebih lengkap ketimbang
sekedar sebagai guru. Ini berarti guru pun tidak bisa lagi berperan sebagai
sekedar pemberi atau pemindah pengetahuan kepada siswa, tetapi
harus selalu siap menanggapi pertanyaan apapun yang diajukan siswa setiap
waktu.
Mengingat
permintaan akan kesiapan guru dalam KBK yang jauh lebih baik dan unggul, guru
harus bekerja lebih keras menyiapkan diri sebelum menghadapi murid di kelas
setiap hari. Sebaliknya guru dalam KBK harus meingkat fungsinya menjadi guru
plus fasilitator yang justru harus bekerja keras memotivasi murid untuk
berani bertanya apa saja kepada guru. Jika sistem KBK ini dapat terlaksana
dengan baik tidak akan lagi didengar keluhan seorang guru di Kutai Barat
(berasal dari Bantul) bahwa “selama 15 tahun mengajar di sana tidak sekalipun
murid-muridnya mengajukan pertanyaan kepadanya di kelas” (Mei 2004).
Salah satu kelemahan KBK barangkali adalah justru pada kesiapan
sarana-prasarana untuk menjamin tercapainya hasil. Bagaimana mungkin KBK dapat
berasumsi setiap guru siap melaksanakan tugas barunya tanpa jaminan dapat
disediakan sarana/prasarana yang diperlukannya. Mengapa tanpa persiapan cukup
seorang guru “tiba-tiba” dapat berubah menjadi guru plus fasilitator?
06 Juli 2004
Daftar
Pustaka
Hatta, Moh. 2002. Daulat Rakyat Buku 2.
Terbitan Khusus Satu Abad Bung Hatta, Yayasan Hatta: Jakarta.
Hausman, Daniel M. 1994. The Philosophy of
Economics, Cambridge UP.
Mubyarto. 2004. Pendidikan Ekonomi Kita.
Aditya Media: Yogyakarta.
Mubyarto & Awan Santosa. 2004. Pendidikan
Ekonomi Alternatif di Sekolah-sekolah Lanjutan. Aditya Media: Yogyakarta.
Oliver, J.M. 1973. The Principles of Teaching
Economics. Heinemann Education Books Ltd.
Smith, Adam. 1759. The Theory of Moral
Sentiments. Regnary Publishing: Washington D.C
Smith, Adam. 1776. The Wealth of Nations. The
University of Chicago Press: Chicago.