Kamis, 05 November 2015

Indonesian Economic


BAGAIMANA BELAJAR ILMU EKONOMI [1][1]
Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru Besar FE-UGM Yogyakarta, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM

 
Pendahuluan
Sejak penerbitan buku kecil Pendidikan Ekonomi Kita (PUSTEP-UGM, 2004) dan buku ikutannya Pendidikan Ekonomi Alternatif di Sekolah-sekolah Lanjutan (bersama Awan Santosa), kami makin intensif mengamati cara-cara dan praktek guru-guru sekolah lanjutan mengajarkan ilmu ekonomi. Pernah satu ketika mata pelajaran ini disebut ilmu ekonomi koperasi, satu nama yang sebenarnya lebih tepat karena di Indonesia terutama di perdesaan, tetapi juga di perkotaan, kehidupan berekonomi masih selalu dijiwai semangat kekeluargaan, kerjasama antarorang. Misalnya, di kalangan masyarakat Jawa ada ungkapan tuna satak bathi sanak, yang sangat tepat menggambarkan tindak berekonomi yang tidak mengutamakan pengejaran keuntungan. Rugi sekalipun (tuna = rugi), tidak perlu dianggap gagal kalau pada saat yang sama didapat kerabat baru (sanak = saudara). Ungkapan ini saja cukup untuk membedakan perilaku homo-ekonomikus ala ekonomi Barat yang pertama-tama diajarkan dalam ilmu ekonomi di sekolah-sekolah kita, dan homo-socius atau homo-ethicus ala ekonomi Timur.
[2][1] Makalah untuk Seminar Bulanan ke-18 PUSTEP UGM, 6 Juli 2004.
Jika sistem nilai dan budaya Jawa ini masih kita uri-uri (pelihara) sampai sekarang, tentulah timbul pertanyaan mengapa kita mengajarkan ilmu ekonomi sejak kelas I SMP bahwa manusia adalah homo-ekonomikus, yang diidealisasi sebagai manusia rasional yang selalu mengejar untung sebesar-besarnya, dan jika ia mengkonsumsi barang apapun selalu mengejar kepuasan maksimum. Sebenarnya seorang sosiolog Jerman F. Tonnies mengingatkan adanya dua jenis masyarakat yaitu masyarakat paguyuban (gemeinschaft) dan masyarakat patembayan (gesellschaft), yang pertama berarti masyarakat “kolektif” yang masih menjunjung tinggi semangat gotong-royong dan tolong-menolong, sedangkan yang kedua berarti masyarakat individualisik yang setiap anggotanya lebih menonjolkan kepentingan diri sendiri, tidak peduli kepentingan orang lain.
Jika kini orang mulai sadar dan bertanya-tanya mengapa terjadi perkembangan pemikiran yang cenderung menjauhi tradisi dan budaya asli bangsa, dan orang mulai mengadopsi nilai dan budaya luar (Barat), ada baiknya kita gali lebih dalam berbagai sebabnya. Apa yang salah pada bangsa Indonesia yang rupanya “demi kemajuan” telah “menerima” dan menerapkan sistem nilai asing yang tidak dikenal dalam budaya luhur kita?
 
Dari Adam Smith ke Soekarno-Hatta
Sangat sedikit sarjana ekonomi di manapun, lebih-lebih di Indonesia, yang menyadari kekeliruan, bahwa Adam Smith dikenal sebagai Bapak Ilmu Ekonomi dunia semata-mata karena bukunya Wealth of Nations (1776). Karena kekeliruan ini maka kebanyakan sarjana ekonomi juga mengira bahwa julukan homo-ekonomikus pada setiap manusia merupakan satu-satunya pencirian asli atau khas Adam Smith. Akibatnya, banyak pakar yang menjadi “ekonom” setelah memperoleh kepakaran di luar bidang ilmu ekonomi, misalnya insinyur, sangat asing dengan pandangan Smith yang sebenarnya tidak pernah menutup-nutupi pandangan yang “mencurigai” perilaku dunia bisnis antara lain dengan ungkapan berikut:
People of the same trade seldom meet together even for merriment and diversion, but the conversation ends in a conspiracy against the public, or in some contrivance to raise prices (Adam Smith, 1776:144).
(Orang-orang yang berbisnis sama jarang bertemu, bahkan untuk bersenang-senang atau untuk mengisi waktu-waktu luang sekalipun, namun (kalau mereka ketemu) pembicaraan-pembicaraan mereka berakhir dengan persekongkolan melawan kepentingan umum, atau dengan menemukan cara-cara untuk menaikkan harga-harga)
Sebelum menulis buku Wealth of Nations sebenarnya Adam Smith, ketika 17 tahun lebih muda, menulis buku lain yang lebih “berat”, karena lebih “filosofis” yaitu The Theory of Moral Sentiments (1759). Dalam buku pertama ini Smith menyakinkan pembacanya bahwa setiap manusia sangat menyukai hidup sebagai warga masyarakat, yang berarti manusia tidak menyukai hidup yang berciri individualistik atau sekedar mementingkan diri sendiri.
Man it has been said, has a natural love for society, and desires that the union of mankind should be preserved for its own sake, and through he himself was to derive no benefit from it.

(Telah dikatakan bahwa manusia memiliki sifat alamiah mencintai masyarakatnya, dan menginginkan dipeliharanya kesatuan umat manusia demi kebaikan manusia itu sendiri, meskipun ia sendiri tidak memperoleh manfaat sedikitpun dari padanya).
Jika kita baca sekaligus kedua buku Smith tersebut secara benar, sebagai satu kesatuan, harus disimpulkan bahwa Bapak Ilmu Ekonomi dunia ini bukanlah penganut paham dan penyebar ilmu ekonomi kapitalis liberal yang amoral. Paham liberalisme-imperialisme baru berkembang satu abad sesudah terbitnya buku-buku Adam Smith tersebut yaitu ketika kaum pemodal atau para pemilik modal Eropa Barat “merajalela” di seluruh dunia menjarah tanah-tanah jajahan sumber “harta karun” yang sangat bermanfaat bagi ibu negara (motherland).
Indonesia yang dijadikan negara jajahan selama 350 tahun melahirkan pemikir-pemikir ekonomi kebangsaan brilyan yang mampu menyadarkan bangsanya akan kejahatan-kejahatan ekonomi para penjajah. Ir. Soekarno yang berkali-kali menyatakan “tidak tahu ekonomi”, karena tidak pernah belajar ilmu ekonomi secara formal seperti rekan seperjuangannya, dan kelak juga koproklamator kemerdekaan dan Wakil Presidennya, Drs. Moh. Hatta, harus diakui menunjukkan pemahaman mendalam mengenai ekonomi Indonesia. Dalam bukunya Indonesia Menggugat yang merupakan pidato pembelaannya ketika diadili Landraad Bandung bulan Agustus 1930, Bung Karno menguraikan panjang lebar mengapa ekonomi rakyat Indonesia dihisap dan ditekan oleh pemerintah penjajah Belanda yang bersekongkol dengan perusahaan-perusahaan besar milik pemodal-pemodal Belanda. Namun yang diserang Bung Karno sebenarnya bukan pemerintah Belanda tetapi sistem kapitalisme dan imperialisme, satu paham atau satu isme yang telah “mencelakakan rakyat dan bangsa Indonesia”.
Kami memang pernah menyatakan rubuhkanlah imperialisme, rubuhkanlah kapitalisme! –kami memang pernah mengatakan “imperialisme jahat, kapitalisme angkara murka, imperialisme mencelakakan kita, kapitalisme merusak rakyat, dan lain-lain sebagainya.- tetapi adakah bisa jadi, bahwa kami memaksudkan dengan perkataan imperialisme itu pemerintah yang sekarang atau keamanan umum, adakah bisa jadi bahwa kami memaksudkan dengan kapitalisme itu bangsa Belanda atau bangsa asing yang lain?
 
Kapitalisme dan imperialisme, Tuan-tuan Hukim, kapitalisme dan inperialisme sebagai kami uraikan di awal kami punya pidato, dengan disokong dalil-dalil orang yang ternama, bukanlah bangsa Belanda, bukanlah bangsa asing yang lain, bukanlah kaum BB, bukanlah kekuasaan pemerintah, bukanlah suatu badan atau materi –kapitalisme dan imperialisme sebagai tiap-tiap perkataan yang berakhiran “isme” adalah suatu paham, suatu pengertian, suatu sistem!
 
Sistem ini yang mencelakakan, sistem ini yang jahat, sistem ini yang harus dirubuhkan, bukan bangsa asing, bukan pemerintah, bukan kekuasaan pemerintah! Amboi, adakah kami begito goblok, adakah kami kurang otak atau barangkali miring otak, mengira bahwa imperialisme = kekuasaan pemerintah, kapitalisme = bangsa asing? (Soekarno, 1930, Indonesia Menggugat, Departemen Penerangan, 1952: 177-178).
Demikian dengan mempelajari sejarah pemikiran ekonomi para perintis kemerdekaan bangsa dan para pendiri negara (founding fathers), anak-anak didik kita tidak seyogyanya diberi kesan keliru bahwa ilmu ekonomi hanya berkembang di Barat, dan hanya menjadi “olah pikir” pemikir-pemikir Barat, meskipun benar Adam Smith telah merenung dan menulis demi kemajuan kemanusiaan seluruh umat manusia. Jika Ilmu Ekonomi di tangan Adam Smith atau John Stuart Mill adalah untuk kemajuan kemanusiaan, “ilmu ekonomi” di tangan Soekarno-Hatta adalah alat perjuangan, perjuangan untuk meruntuhkan paham kapitalisme-imperialisme, yang telah benar-benar mencelakakan rakyat Indonesia. Bahwa akhirnya Soekarno dihukum 4 tahun penjara setelah gagal membela dirinya dengan berargumentasi ekonomi memperjuangkan rakyat kini telah menjadi sejarah, tetapi justru karena telah menjadi sejarah itulah, anak-anak kita harus mempelajari sejarah itu. Pertama, sebagai ucapan terima kasih dari generasi sekarang kepada para pejuang kemerdekaan kita, dan kedua, sebagai upaya untuk membuat pelajaran ilmu ekonomi relevan dengan kondisi sosial-ekonomi yang kini dihadapi bangsanya. Harus dicatat bahwa kondisi ekonomi kemarin dan apa yang dapat dilakukan generasi sekarang akan membentuk kondisi ekonomi bangsa di masa datang.
Dalam membahas pikiran-pikiran ekonomi Bung Karno dan Bung Hatta, tokh ada sementara pakar ekonomi kita yang menganggap pikiran-pikiran ekonomi Bung Hatta “kurang revolusioner” karena Hatta  muda bersekolah di Negeri Belanda, sedangkan Soekarno muda (hanya) di Bandung sehingga justru lebih revolusioner.
Terhadap keraguan ini saya tidak sependapat. Pikiran-pikiran Bung Hatta sebagaimana dimuat dalam majalah Daulat Rakyat tahun 1934 dan seterusnya setelah kembali dari Belanda tetap revolusioner, membela dan memperjuangkan kepentingan ekonomi rakyat yang dibela Bung Karno tahun 1930 di Landraad Bandung. Dalam tulisannya Ekonomi Rakyat Dalam Bahaya (1934), Bung Hatta memprotes karena pemerintah penjajah hanya memikirkan kepentingan onderneming (perkebunan-perkebunan besar) yang terkena dampak depresi dunia sejak 1929, dan sama sekali tidak memikirkan kehidupan ekonomi rakyat yang juga terpukul yang justru lebih parah oleh depresi dunia yang sama.
Bagaimana juga perbedaan paham antara GG yang satu dengan GG yang lain , dalam satu fasal mereka mempunyai kesalahan yang sama, yaitu kemakmuran negeri senantiasa diukur kepada majunya onderneming-onderneming Barat yang ada dan yang bakal ditimbulkan. Dan ekonomi rakyat tidak pernah mendapat pimpinan yang sepatutnya.[3][2] (Hatta, 2002: 243)
[4]2] Hatta, Moh., 1934, “Ekonomi Rakyat Dalam Bahaya”, dalam Daulat Rakyat No. 84, Tahun ke IV, 10 Januari 1934. Diterbitkan kembali dalam Daulat Rakyat Buku 2, 2002, Yayasan Hatta, Jakarta. 
Kelebihan dan kemajuan Hatta dibanding Soekarno dalam analisis ekonomi memang jelas, karena Hatta yang belajar ilmu ekonomi dan mendapat kesempatan mempelajari usaha-usaha koperasi di Denmark mengembangkan gagasan-gagasan koperasi sebagai wadah kegiatan ekonomi rakyat.
Di dalam keadaan ekonomi kolonial semacam itu, di mana pergerakan kemerdekaan mencita-citakan Indonesia Merdeka yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur di kemudian hari, hiduplah keyakinan bahwa bangsa Indonesia dapat mengangkat dirinya keluar dari lumpur, tekanan dan hisapan, apabila ekonomi rakyat disusun sebagai usaha bersama berdasarkan kooperasi.... Cita-cita kooperasi Indonesia menentang individualisme dan kapitalisme secara fundamentil. (Hatta, 1983: 224, 228)
 
Metode Mengajar Ilmu Ekonomi
Seorang guru yang mengajar ilmu ekonomi, disamping harus menguasai ilmu yang diajarkan, juga diharapkan mengetahui metode mengajar yang baik dan tepat, sekaligus mampu menerapkannya. Ini memang bukan pekerjaan mudah, lebih-lebih mengingat sarana-prasarana pendidikan masih sangat tidak terpenuhi. Misalnya, sudah umum diketahui bahwa penghasilan guru-guru (dan dosen perguruan tinggi) sangat rendah sehingga jika guru hanya mengandalkan penghasilan tetap bulanan saja ia tidak dapat menghidupi keluarga. Sudah sering disebutkan bahwa gaji guru atau dosen-dosen perguruan tinggi kita rata-rata hanya 1/20 gaji guru dan dosen yang berpangkat sama di negara tetangga, Malaysia. Inilah salah satu alasan pokok mereka tidak (dapat) mencurahkan perhatian penuh pada pelaksanaan tugas-tugas pokoknya. Mereka harus “ngobyek” untuk menambah penghasilan, dan bagi dosen, mengajar di berbagai perguruan tinggi yang juga tumbuh menjamur di mana-mana termasuk di kota-kota kecil sekalipun, seperti di Sendawar, Ibu kota Kabupaten Kutai Barat yang baru berdiri sebagai kabupaten tahun 1999.
Sarana-prasarana bagi guru-guru sekolah lanjutan masih lebih buruk lagi, termasuk laboratorium dan perpustakaan yang tidak dimiliki, atau ada tetapi kondisinya tidak memadai, sehingga kebanyakan sulit disebut sebagai sekolah yang memenuhi syarat.
Salah satu kekurangan lain sebagai akibat dari buruknya sarana/prasarana pendidikan adalah penggabungan pemberian pelajaran yang seharusnya diberikan 2 atau 3 kali per minggu menjadi hanya sekali seminggu. Dan di perguruan tinggi, mata kuliah yang bernilai 3 SKS (satuan kredit semester) pun juga hanya diberikan 1 kali seminggu selama 120 menit, padahal di negara-negara yang sudah maju mata kuliah yang sama harus diberikan 3 kali per minggu @ 50 menit. Maka dapat disimpulkan betapa sangat sedikit materi/ pelajaran yang diperoleh atau diserap murid/mahasiswa setiap minggunya.
Ilmu ekonomi, tak boleh dilupakan adalah ilmu sosial yang harus secara lengkap diajarkan secara deduktif maupun induktif, yang oleh Alfred Marshall, Bapak Teori Ekonomi Neoklasik, diibaratkan 2 kaki (kanan dan kiri) untuk berjalan. Maka jika hanya satu metode saja yang dipakai akan pincang, dan hasilnya pasti mengecewakan. Karena hampir semua guru/dosen biasanya ingin “menghemat waktu”, maka dipilihlah metode yang paling mudah dan paling murah yaitu metode deduktif, dengan sepenuhnya berpegang pada buku teks (textbook), tanpa upaya apapun memberikan contoh-contoh data empirik dari lapangan atau lingkungan murid/mahasiswa setempat. Akibatnya seorang murid atau mahasiswa yang sudah lulus dengn nilai sangat baik dalam ilmu ekonomi tidak memahami kehidupan ekonomi di sekitar murid/mahasiswa, apalagi mengetahui cara-cara memecahkan masalah-masalah ekonomi masyarakat.
Pengajaran ilmu ekonomi dengan metode deduktif dan induktif sekaligus dapat dengan mudah dilakukan tetapi dengan mengkaitkannya dengan penelitian. Inilah yang dikenal dengan istilah teaching through research (mengajar melalui penelitian). Dalam cara mengajar yang demikian, murid/mahasiswa diajak meneliti oleh guru/dosen dalam “tim penelitian”, yang berarti guru/dosen juga terus-menerus “ikut belajar” bersama murid/mahasiswa. Inilah yang juga disebut problem-posing education (pendidikan dengan mengetengahkan masalah-masalah praktis pada peserta didik), yang dilawankan dengan banking education yang semata-mata berarti pemindahan/mendeposit ilmu pengetahuan kepada peserta didik.
Demikian kiranya jelas perlunya revolusi total sistem pendidikan imu ekonomi di sekolah-sekolah/perguruan tinggi kita, meskipun perubahan sistem itu memang mutlak harus dibarengi penyediaan sarana-prasarana yang benar-benar memadai.
 
Ilmu Ekonomi Multidisipliner
Guru-guru ilmu ekonomi yang serius pasti memahami adanya kaitan erat antara pelajaran ilmu ekonomi sebagai ilmu sosial dengan cabang-cabang ilmu sosial lain seperti ilmu sosiologi, ilmu politik, ilmu hukum, ilmu bumi (geografi), dan ilmu sejarah. Karena kaitan yang sangat erat antara berbagai cabang ilmu ini, maka mempelajari ilmu-ilmu tersebut secara terpadu multidisipliner akan membawa hasil lebih baik.
Pada awal lahirnya, ilmu ini diberi nama political economy (ilmu ekonomi politik), dan bukan economics seperti sekarang. Bahkan sudah disebut di atas, buku Adam Smith yang menandai kelahiran ilmu ekonomi “modern” tidak diberi judul political economy apalagi economics. Tokoh-tokoh ekonomi klasik sesudah Smith yaitu J.S. Mill dan David Ricardo memberi judul buku mereka Principles of Political Economy, sedangkan T.R. Malthus memberi judul buku ekonominya Essay on Population.
Di Indonesia pakar ekonomi paling awal sesudah Moh. Hatta adalah Sumitro Djojohadikusumo, yang seperti halnya Hatta, belajar ilmu ekonomi di Negeri Belanda, Rotterdam, dengan menulis disertasi Masalah Kredit di Zaman Depresi (1943). Buku ilmu ekonomi yang ditulis Sumitro diberi judul Ekonomi Penbangunan (1955) dan Ekonomi Umum (1957) yang berarti bahwa menurut pandangannya tugas ilmu ekonomi bersifat makro yaitu membantu pemerintah menyusun kebijakan-kebijakan ekonomi untuk mencapai tujuan pembangunan masyarakat. Sumitro yang pendiri dan dekan pertama Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI) dikenal pula sebagai perintis The Jakarta School of Economics, yang menerapkan ajaran Keynes di Indonesia, yaitu mengajarkan perlunya intervensi pemerintah dalam perekonomian nasional, atau membatasi kebebasan mekanisme pasar agar tidak merugikan masyarakat. Sumitro kemudian mendapat kesempatan menerapkan pikiran-pikirannya dalam kebijakan ekonomi praktis ketika beberapa kali dipercaya menjadi menteri (keuangan, perekonomian, perdagangan), dan terakhir 1968-1974 sebagai menteri perdagangan Kabinet Pembangunan I di bawah Presiden Soeharto.
Ketika Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada berdiri tahun 1955 (dipisah dari Fakultas-fakultas Hukum dan Sosial-Politik), dikenal 4 jurusan yaitu Agraria, Sosiologi, Kenegaraan, dan Perusahaan. Dibukanya 2 jurusan yaitu Agraria dan Sosiologi, menunjukkan keinginan menjadikan ilmu ekonomi relevan dengan masalah ekonomi yang dihadapi masyarakat-bangsa. Lebih-lebih dengan jurusan ekonomi sosiologi berarti ada pengakuan kaitan erat antara ilmu ekonomi dan ilmu sosiologi. Artinya, sebagaimana ditekankan oleh Adam Smith dalam TMS (Theory of Moral Sentiments), manusia sangat terikat pada masyarakat tempat ia hidup, dan perilakunya juga tidak berciri individualistik, tetapi justru dibentuk dan diwarnai oleh masyarakatnya.
Bahwa faktor-faktor ekonomi, politik, dan budaya amat sulit dipilah, digambarkan dengan baik oleh pengalaman teori dan praktek. Sajogyo, pensiunan Gurubesar sosiologi perdesaan IPB, pada rekfleksi kariernya bulan Desember 2003, menuturkan kembali pertukaran pikirannya dengan David Penny (alm), ekonom pertanian dari Australia, sebagai berikut:
Jika Anda ingin mengerti perekonomian negeri kami, kajilah kebudayaan dan sistem politik kami; jika ingin memahami kebudayaan dan sistem politik kami, kajilah perekonomian kami (Sajogyo, 2003:1).
Dari pernyataan ini tidak diragukan bahwa pengajaran ilmu ekonomi sebagai monodisiplin tidak mampu menjadikan siswa memahami apalagi memecahkan masalah-masalah kongkrit yang dihadapi masyarakat-bangsa Indonesia. Dengan perkataan lain ilmu ekonomi hanya akan efektif sebagai pisau analisis jika digunakan bersama ilmu-ilmu sosial lain termasuk dan terutama ilmu politik, ilmu budaya, dan etika.  
 
Mengorganisasi Materi Ajar Ilmu Ekonomi
Salah satu misi KBK adalah untuk memadukan penguasaan berbagai materi pelajaran sehingga siswa memiliki kompetensi lintas kurikulum, kompetensi umum, dan kompetensi dasar mata pelajaran. Indikator masing-masing kompetensi tersebut sudah dirumuskan Depdiknas dengan baik, normatif, dan komprehensif. Masalah muncul ketika harus mewujudkan kegiatan belajar-mengajar seperti apa yang dapat mendukung maksud-maksud di atas. Meskipun ada pembaruan capaian, metode, dan pendekatan, tokh kurikulum yang ada sekarang belum benar-benar mencerminkan perpaduan materi, sehingga metode pengajaran ilmu ekonomi masih bersifat monodisiplin, parsial, dan terkotak-kotak. Materi yang diajarkan masih sama, hanya terkesan “diotak-atik” tanpa pemikiran utuh yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Materi ilmu ekonomi masih konvensional, demikian pula dengan materi PPKn, Geografi, Sejarah, dan Sosiologi, belum terlihat hasil yang menunjukkan keseriusan perancang kurikulum dalam memadukan berbagai materi ajar tersebut sehingga menjadi kesatuan pembelajaran yang padat-terpadu.
Susunan Garis-Garis Besar Program Pengajaran Dan Penilaian Pada Sistem Semester (Ditjen Dikdasmen, 2003) menunjukkan masih kuatnya sekat-sekat antar mata pelajaran yang sebenarnya berkaitan erat. Materi pelajaran ekonomi yang komplek dan “berat-berat” disusun hanya dalam 3 halaman, sementara materi PPKn yang berupa nilai-nilai (value) disusun dalam 17 halaman. Mengapa tidak justru nilai-nilai (ideologi) ini yang dipadukan dalam materi-materi ilmu sosial, khususnya materi ekonomi? Dalam materi-ajar PPKn dikupas tuntas masalah-masalah keadilan sosial, asas kekeluargaan, sistem ekonomi Indonesia, trilogi pembangunan, nasionalisme (rasa kebangsaan) di era globalisasi, demokrasi ekonomi, dan bahkan juga Sistem Ekonomi Pancasila. Bukankah ini esensi kontekstualisasi ilmu ekonomi sesuai kondisi riil bangsa Indonesia? Mengapa materi-ajar ini justru sama sekali “asing’ dalam kurikulum materi-ajar ilmu ekonomi?
Di sisi lain, materi ekonomi dalam kurikulum “KBK” tersebut diberikan tanpa visi moral dan kontekstual yang jelas, “dogmatis”, dan bersifat “padat materi” ketimbang “padat nilai”. Dogmatis karena sejak pertama kali menerima pelajaran ekonomi siswa sudah dipaksa menerima kebenaran “dalil-dalil” ekonomi bahwa manusia adalah homo economicus, yang kebutuhannya tidak terbatas (keserakahan alam benda), dan sumber-sumber pemenuhannya terbatas. Dalam Pedoman Khusus Pengembangan Silabi dan Penilaian Mata Pelajaran Ekonomi (Dikmenum, 2003) sudah ditegaskan bahwa dalil itu merupakan kenyataan yang menjadi karakteristik mata pelajaran ekonomi. Ilmu ekonomi yang diarahkan pada analisis kelangkaan mendapat pembenaran dengan pernyataan bahwa “apabila sumber ekonomi keberadaanya melimpah (baca : tidak langka) maka ilmu ekonomi tidak diperlukan lagi bagi kehidupan manusia”. Inilah alasan tidak ditonjolkaanya bahasan mengenai “keadilan ekonomi” yang didasari kenyataan terdapatnya masalah kemiskinan dan ketimpangan dalam distribusi kekayaan dan pendapatan.
Pengajaran PPKn tanpa dipadu ilmu (materi) ekonomi kongkrit tidak akan memiliki kekuatan apapun. Begitu pula sebaliknya, pengajaran ekonomi tanpa dipadu nilai-nilai, moral, dan etika dalam pelajaran PPKn akan kehilangan arah (visi). Hal ini berlaku pula bagi perpaduan materi ekonomi dengan materi ilmu-ilmu sosial yang diajarkan seperti sejarah, geografi, sosiologi, dan antropologi. KBK menuntut pengembangan metode mengajar induktif-empirik melalui kajian langsung di lapangan. Guru-guru ekonomi harus mampu bekerjasama dengan guru-guru ilmu sosial yang materinya berkaitan erat untuk mendisain kajian lapangan secara multidisipliner. Dengan cara demikian siswa tidak mendapat pemahaman ilmu ekonomi secara sepotong-potong, terpisah, bahkan terkadang saling bertolakbelakang.
Perpaduan ini tidak berhenti pada penyelenggaraan kajian lapangan secara bersama sama. Analisis kajian lapangan harus merupakan kesatuan yang utuh yang menggambarkan keterkaitan antara disiplin ilmu ekonomi dengan disiplin ilmu sosial lain dalam memecahkan dan mengamati suatu masalah tertentu. Mengorganisasikan materi yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi guru dan siswa dapat dilakukan dengan tiga cara sekaligus. Pertama, guru ekonomi harus mempelajari materi-materi ilmu lain yang berkaitan erat dengan materi yang diajarkannya (sejarah, sosiologi, dan geografi). Kedua, guru ekonomi harus sering bertukar pikiran dengan guru-guru ilmu terkait untuk mengembangkan metode mengajar dengan pendekatan multidisipliner. Ketiga, guru ekonomi mengajar melalui diskusi kelas (satu kelas-satu topik) bersama-sama dengan guru ilmu-ilmu terkait.  
Pendekatan multidisipliner tidak banyak membantu jika pengorganisasian materi pelajaran ekonomi tidak dilakukan secara tepat. Dalam buku Kurikulum dan Hasil Belajar – Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Ekonomi SMA dan MA (Puskur, Balitbang Depdiknas, 2002) dijelaskan bahwa pengorganisasian materi pelajaran ekonomi di SMA/MA dimulai dari “masalah-masalah ekonomi yang terjadi di lingkungan kehidupan yang terdekat hingga pada lingkungan yang terjauh”. Sepintas lalu pengorganisasian seperti ini mencerminkan pembelajaran berdasar lokalitas-kontekstual masalah riil yang dihadapi siswa. Namun, bukankah masalah antarindividu, keluarga, masyarakat dan daerah tidak seragam? Bukankah tingkat kepentingan (urgensi) masalah tersebut juga bisa berbeda-beda. Pengorganisasian materi yang demikian cenderung berorientasi pada masalah-masalah yang bersifat individualistik berkisar pada kepentingan pribadi (self interest). Maka dapat dimengerti bahwa materi pertama yang diajarkan adalah pilihan dan biaya peluang, diikuti maksimisasi keuntungan, perilaku produsen/konsumen dan seterusnya, bukannya masalah-masalah mendesak yang dihadapi masyarakat-bangsa Indonesia seperti kemiskinan, produktivitas rendah, dll.
Mengapa materi tidak diorganisasikan berdasar tingkat kedalaman masalah ekonomi yang dihadapi?. Pengorganisasian materi ajar seharusnya dimulai dari pemecahan masalah ekonomi terberat yang dihadapi rakyat, baik yang ada di sekitar siswa maupun yang terjauh sekalipun. Pengorganisasian seperti ini mensyaratkan perhatian pada masalah ekonomi yang dihadapi rakyat, yang dapat dirujuk pada cita-cita konstitusi.
Oleh karena itu, materi ajar yang sebaiknya dipelajari terlebih dulu adalah sejarah ekonomi, cita-cita kehidupan ekonomi dalam konstitusi (pasal 27 dan pasal 33 UUD 1945, termasuk koperasi), dan sistem ekonomi. Dalam pokok-pokok bahasan tersebut secara implisit terkandung masalah-masalah ekonomi ysng dihadapi rakyat yaitu masalah kemiskinan dan ketimpangan (ketidakadilan ekonomi). Barulah kemudian analisis mendalam diperlukan untuk mempelajari teori-teori ekonomi, kegiatan ekonomi lokal, nasional, dan global, pasar, peran/kebijakan pemerintah, yang diajarkan dengan visi memecahkan masalah-masalah ekonomi sesuai amanat konstitusi yang telah dipelajari di awal pelajaran. Pembagian materi ekonomi di kelas 1, 2, dan 3 SMU dapat mengikuti pola ini dengan peluang untuk me-review pelajaran-pelajaran sebelumnya.
Beberapa guru ekonomi mengeluh mengapa di awal pelajaran mereka sudah diminta mengajar konsep biaya peluang yang mereka sendiri masih kurang paham. Setelah mereka mendapat “ceramah” tentang materi tersebut, mereka merasa bukannya makin “kompeten” tetapi justru makin tidak paham. Bagaimana halnya dengan siswa yang baru masuk ke SMU?  Apakah guru dan siswa paham bahwa itulah masalah ekonomi terdekat yang dihadapinya? Jika ya, pastilah mereka tidak sulit menemukenali dan memecahkannya. Kenyataan ini makin menunjukkan bahwa pengorganisasian materi ekonomi dalam KBK tidak didasarkan pada argumentasi yang jelas dan tepat. Dalam era otonomi pendidikan, guru-guru ilmu ekonomi seyogyanya tidak lagi dipaksa menerima begitu saja kebenaran materi ekonomi dan pilihan pengorganisasiannya tanpa didasari pertimbangan ilmiah. 
Ilmu Ekonomi dan Sistem Ekonomi
Mengapa kepada siswa diajarkan materi tentang sistem ekonomi? Pertanyaan ini terkait dengan idealisasi yang harus dipahami dan dimiliki oleh penyusun kurikulum dan guru ekonomi. Pengajaran suatu materi ekonomi harus didasarkan pada idealisasi atau visi tertentu baik yang  bersifat normatif maupun yang bernilai sejarah. Ini mengikuti pandangan bahwa ilmu (materi) yang diajarkan tidaklah bebas nilai (value-free) melainkan justru sarat nilai. Oleh karena itu paham positivisme ilmu harus ditolak. Setiap kenyataan (das sollen) harus dikaitkan dengan idealitanya (das sein) begitupun sebaliknya. Pandangan ini menjawab keluhan guru-guru ilmu ekonomi yang merasa menghadapi kesulitan dalam menyelaraskan kenyataam dengan materi sistem ekonomi nasional yang akan diajarkan. Guru ekonomi harus mempunyai visi dan idealisme mengapa sistem ekonomi nasional begitu penting untuk diajarkan kepada siswa. Mengajarkan sistem ekonomi patut dipahami sebagai upaya mengembangkan sistem ekonomi nasional yang sesuai dengan tujuan nasional yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kepada siswa perlu disampaikan pemahaman bahwa sistem tidak lain dari aturan main. Jadi sistem ekonomi adalah aturan main yang menjadi pedoman umum tindakan-tindakan setiap pelaku ekonomi.
Tujuan mengajarkan materi sistem ekonomi harus dikuasai sebaik penguasaan guru atas materi itu sendiri. Tanpa itu pendidikan ekonomi hanya bermakna sebagai ajang transfer materi sistem ekonomi yang cenderung pragmatis, formalistik, dan ritualistik. Pragmatisme ini mengakibatkan merosotnya kualitas pendidikan ilmu ekonomi dengan hasil tidak dikuasainya pemahaman nilai dan materi sistem ekonomi oleh siswa. Tujuan untuk memahamkan siswa terhadap sistem ekonomi nasional yang ideal dan yang riil pun sulit terwujud. Pengajaran sistem ekonomi sebagai upaya mengembangkan dan memperbarui sistem ekonomi yang khas Indonesia justru berubah menjadi tempat mengukuhkan dominasi sistem dan paham ekonomi konvensional. Gagasan-gagasan sistem ekonomi nasional dari para pemikir-pemikir ekonomi bangsa sendiri tidak mendapat perhatian yang memadai. Ini melanggengkan kondisi status quo di mana pendidikan ilmu ekonomi merupakan produk sistem ekonomi yang berkembang, bukannya sistem ekonomi yang merupakan hasil dari proses pendidikan ekonomi di setiap tingkatan.
Materi apa tentang sistem ekonomi yang seharusnya diajarkan?  Pertanyaan ini mengarahkan pilihan pada materi-materi ajar yang relevan dan bermanfaat bagi siswa, khususnya dalam kontek pengajaran sistem ekonomi. Relevan berarti materi sistem ekonomi harus bersifat kontekstual, mengajarkan idealita sekaligus realita sistem ekonomi yang dikaitkan dengan sistem nilai sosial-budaya bangsa Indonesia. Untuk itu materi Sistem Ekonomi Pancasila menjadi alternatif yang lebih masuk akal untuk diajarkan dan dikembangkan bersama mulai tingkat sekolah lanjutan. Ini memang memerlukan perbandingan dengan materi sistem ekonomi lain yang berkembang di dunia (Kapitalisme-Sosialisme-Komunisme) sehingga pemahaman siswa lebih komprehensif. Siswa diharapkan memahami ciri-ciri dan kekuatan/kelemahan setiap sistem ekonomi, mampu menentukan pilihan sistem yang sesuai dan terbaik bagi bangsa Indonesia, dan siswa kemudian bersemangat untuk menggali (memperdalam pemahaman) sistem ekonomi yang khas Indonesia.
Kadang-kadang pertimbangan pragmatis lebih menentukan dalam menyusun materi-ajar (silabi) dibanding pertimbangan ideologis (esensial). Mungkin karena dinilai tingkat kesulitan materinya rendah, tidak begitu mendesak diajarkan, dan tidak sering dijadikan bahan ujian (perguruan tinggi), materi sistem ekonomi dalam KBK ditempatkan di kelas 3, sebagai pelajaran terakhir. Tentu saja pengajarannya tidak mungkin efektif karena siswa sudah mulai berkonsentrasi pada ujian akhir dan tes untuk masuk perguruan tinggi. Di kelas 1 materi sistem ekonomi ini hanya sedikit sekali disinggung dengan penekanan lebih pada analisis masalah ekonomi produksi, distribusi, dan konsumsi. Sistem ekonomi terkait erat dengan sejarah ekonomi yang perlu dipahami sejak awal oleh siswa sebagai dasar analisis ekonomi lebih lanjut. Sistem ekonomi memuat ideologi, perangkat nilai, moral, dan aturan-aturan ekonomi yang dapat dijabarkan dalam bahasan-bahasan konsep dan teori ekonomi. Materi sistem ekonomi sangat strategis, komplek, dan tidak semudah anggapannya sebagai materi yang hanya sekedar dihapalkan.
Bagaimana cara mengajarkannya? Pertanyaan ini mencakup pilihan metode-metode pengajaran yang harus mendekatkan pada pencapaian idealisasi dan tujuan pembelajaran. Patut disadari bahwa guru ilmu ekonomi harus memahami pentingnya pengajaran sistem ekonomi sehingga ia selalu berupaya mengembangkan pemahaman materinya. Guru yang menguasai materi akan mudah menerapkan inovasi metode mengajar yang memudahkan siswa dalam menguasai materi. Guru ekonomi akan menyadari perlunya kajian langsung di lapangan untuk membantu siswa mengamati praktek-praktek ekonomi yang menjadi satu kesatuan sistem ekonomi. Demikian pula halnya, siswa akan menemukan masalah-masalah baik dalam upaya-upaya pengembangan sistem ekonomi nasional maupun masalah-masalah yang dihadapi masyarakat sebagai akibat kelirunya sistem ekonomi yang diterapkan  seperti masalah kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Mereka harus memikirkan cara-cara memecahkan masalah tersebut sekaligus upaya-upaya mengembangkan sistem ekonomi yang bermoral, demokratis, dan berkeadilan sosial.
Kelas harus dihidupkan dengan diskusi-diskusi sistem ekonomi yang merujuk pada materi-materi dari buku-buku bacaan (reading), pendapat pakar-pakar, khususnya pakar-pakar ekonomi Indonesia, dan buku-buku teks ekonomi. Dalam kesempatan tertentu dapat dihadirkan tokoh/pemikir ekonomi yang peduli dengan masalah pengembangan sistem ekonomi di Indonesia. Pembahasan materi sistem ekonomi perlu dikaitkan dengan topik-topik sosial-ekonomi aktual sehingga lebih menarik bagi siswa. Pada akhirnya siswa akan merasakan banyak manfaat dari belajar mengenai ulmu ekonomi dan sistem ekonomi.
 
Penutup
Setelah 10 tahun kurikulum 1994 diberlakukan, pakar-pakar pendidikan dalam koordinasi Depdiknas bersepakat untuk melaksanakan kurikulum baru yang disebut KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Kurikulum baru ini dianggap merupakan “kemajuan besar” dibanding kurikulum 1994 karena diharapkan mampu menghasilkan siswa yang tidak saja berpengetahuan, tetapi sekaligus mampu berbuat, bertindak atau mengerjaka, artinya disamping pendidikan menghasilkan pengetahuan (kognitif) juga afektif (perilaku) dan psikomotorik (bertindak).
Untuk dapat melaksanakan KBK guru juga harus lebih kompeten artinya memiliki pengetahuan, kecakapan, dan keterampilan, yang jauh lebih lengkap ketimbang sekedar sebagai guru. Ini berarti guru pun tidak bisa lagi berperan sebagai sekedar pemberi atau pemindah pengetahuan kepada siswa, tetapi harus selalu siap menanggapi pertanyaan apapun yang diajukan siswa setiap waktu.
Mengingat permintaan akan kesiapan guru dalam KBK yang jauh lebih baik dan unggul, guru harus bekerja lebih keras menyiapkan diri sebelum menghadapi murid di kelas setiap hari. Sebaliknya guru dalam KBK harus meingkat fungsinya menjadi guru plus fasilitator yang justru harus bekerja keras memotivasi murid untuk berani bertanya apa saja kepada guru. Jika sistem KBK ini dapat terlaksana dengan baik tidak akan lagi didengar keluhan seorang guru di Kutai Barat (berasal dari Bantul) bahwa “selama 15 tahun mengajar di sana tidak sekalipun murid-muridnya mengajukan pertanyaan kepadanya di kelas” (Mei 2004).
Salah satu kelemahan KBK barangkali adalah justru pada kesiapan sarana-prasarana untuk menjamin tercapainya hasil. Bagaimana mungkin KBK dapat berasumsi setiap guru siap melaksanakan tugas barunya tanpa jaminan dapat disediakan sarana/prasarana yang diperlukannya. Mengapa tanpa persiapan cukup seorang guru “tiba-tiba” dapat berubah menjadi guru plus fasilitator?  
 
06 Juli 2004  
 
Daftar Pustaka
Hatta, Moh. 2002. Daulat Rakyat Buku 2. Terbitan Khusus Satu Abad Bung Hatta, Yayasan Hatta: Jakarta.
Hausman, Daniel M. 1994. The Philosophy of Economics, Cambridge UP.
Mubyarto. 2004. Pendidikan Ekonomi Kita. Aditya Media: Yogyakarta.
Mubyarto & Awan Santosa. 2004. Pendidikan Ekonomi Alternatif di Sekolah-sekolah Lanjutan. Aditya Media: Yogyakarta.
Oliver, J.M. 1973. The Principles of Teaching Economics. Heinemann Education Books Ltd.
Smith, Adam. 1759. The Theory of Moral Sentiments. Regnary Publishing: Washington D.C
Smith, Adam. 1776. The Wealth of Nations. The University of Chicago Press: Chicago.







Pemikiran Mubyarto


ANTARA KRISIS EKONOMI DAN KRISIS ILMU EKONOMI [1][1] 
Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru Besar FE-UGM Yogyakarta, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM

Pendahuluan
Di kalangan orang-orang awam sering terjadi kebingungan, mengapa teknokrat ekonomi yang telah dianggap menjadi “pahlawan pembangunan ekonomi” pada dan selama 32 tahun Orde Baru, tidak berdaya menyusun kebijakan-kebijakan ekonomi serupa untuk menyelamatkan keterpurukan ekonomi Indonesia yang terkena krisis moneter (krismon) sejak 1997/1998. Selanjutnya ada kesan terjadinya “pengulangan sejarah”. Indonesia kini mengundang pakar-pakar ekonomi kaliber dunia (IMF, IBRD, dan UNSFIR) untuk mengatasi “kekacauan” ekonomi-keuangan-perbankan yang terjadi. Bahkan lebih tragis lagi jika sering timbul kesan, pakar-pakar ekonomi Indonesia harus mengakui “lebih bodoh” ketimbang pakar-pakar ekonomi asing (bule) dalam kemampuan menganalisis masalah-masalah ekonomi Indonesia, padahal pakar-pakar ekonomi asing yang “menasehati” pakar-pakar kita, sebenarnya tidak paham tentang ekonomi Indonesia.
Pada tahun 2002, bersama rekan Daniel Bromley dari Universitas Wisconsin, kami mengkonstatasi bahwa pakar-pakar ekonomi Indonesia yang memperoleh pendidikan tinggi dalam ilmu ekonomi “Mazhab Amerika”, setelah pulang ke negerinya dengan membawa peralatan teori ekonomi yang abstrak, serta merta menyusun rekomendasi dan menerapkan kebijakan ekonomi yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi, sekaligus mengira pertumbuhan ekonomi itu juga memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan pada seluruh bangsa dan rakyat Indonesia.[2][2]
[3][1] Makalah untuk eminar Bulanan ke-19 PUSTEP-UGM, Yogyakarta, 3 Agustus 2004.
[4][2] Mubyarto & Daniel W. Bromley, 2002, A Development Alternative for Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Anggapan keliru bahwa pertumbuhan ekonomi secara otomatis memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan kepada seluruh rakyat inilah yang kemudian membuat mereka (teknokrat) bersikukuh bahwa krisis dalam bidang ekonomi-keuangan yang (dianggap) masih berlangsung dewasa ini pasti dapat diobati dengan resep-resep yang sama yaitu liberalisasi (lebih jauh) dan deregulasi seperti pada awal Orde Baru. Keyakinan akan kebenaran teori-teori ekonomi konvensional (Barat) inilah yang pada hemat kami menjadi sebab utama tidak teratasinya “krisis-ekonomi” dewasa ini. Kami berpendapat bahwa sebenarnya Indonesia dewasa ini tidak mengalami “krisis-ekonomi”, tetapi menghadapi “krisis ilmu ekonomi”. Artinya kita tidak mungkin dapat keluar dari krisis yang kita hadapi jika tidak bersedia mengkaji ulang seluruh teori ekonomi dan ilmu ekonomi konvensional Barat. Teori-teori ekonomi ini telah menguasai pikiran pakar-pakar ekonomi arus utama dan dijadikan pegangan perumusan kebijakan dan strategi pembangunan ekonomi Indonesia selama 3 dekade.
 
Devinisi Ilmu ekonomi ditinjau kembali
Jika diakui bahwa kebutuhan orang Indonesia tidak hanya terdiri atas kebutuhan ekonomi materiil saja, tetapi juga kebutuhan sosial, dan kebutuhan etik, maka jelas definisi ilmu ekonomi Alfred Marshall yang berikut harus dikoreksi. 
Political economy or economics is a study of mankind in the ordinary business of life; it examines that part of individual and social action which is most closely connected with the attainment and with the use of material requisites of well being ( Marshall, 1890: 1).

(Ilmu ekonomi adalah kajian tentang manusia dalam kehidupannya sehari-hari; ia mempelajari bagian tindakan-tindakan individu dan tindakan bersama yang terkait paling erat dengan pencapaian dan pemanfaatan kebutuhan-kebutuhan materiil  bagi kesejahteraannya).

Guru-guru ekonomi bangsa Indonesia, terutama yang sama sekali tidak menyangsikan Pancasila sebagai filsafat dasar dan pandangan hidup bangsa, tentu tidak akan mengajarkan ilmu ekonomi Neoklasik Barat tanpa mengingatkan siswa/mahasiswanya, bahwa ilmu ini sebenarnya hanya mempelajari “sepertiga” perilaku sehari-hari manusia dalam memenuhi kebutuhannya, karena kebutuhan sosial dan kebutuhan etik, yang sebenarnya sama pentingnya, diabaikan. Dua kebutuhan non-materiil ini jelas sama pentingnya bila manusia ingin hidup tenteram dengan masyarakatnya, dan ingin menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa.

Ilmu Ekonomi (Ortodok) telah Mati
Pada tahun 1997 ketika krisis moneter mulai menular ke Indonesia dari Thailand, Gramedia menerbitkan sebuah buku terjemahan yang ditulis seorang ekonom Inggris Prof. Paul Ormerod. Buku ini disadur Parakitri Simbolon dalam bentuk komik kartun yang menarik. Ketika pertama kali terbit tahun 1994 (The Death of Economics), buku ini membuat geger dan penulisnya dicaci maki para ekonom ortodok, meskipun pada saat yang sama dipuji-puji pembaca umum. Paul Ormerod berceramah di Jakarta tanggal 15 Januari 1998, hari yang sama ketika Presiden Soeharto menandatangani surat “penyerahan diri” (pasrah bongkokan) pada IMF. Nasib ekonomi Indonesia diserahkan bulat-bulat pada pakar-pakar ekonomi IMF. Para ekonom Indonesia yang ditugasi membahas buku dan  mengomentari pikiran-pikiran Ormerod yaitu Profesor-profesor Suhadi Mangkusuwondo, Emil Salim dan Thee Kian Wie menyatakan dengan tegas “Anda keliru dengan teori ekonomi Anda!”. Menanggapi tudingan ini Ormerod ternyata tidak marah atau berkecil hati. Ia menyatakan “di negara saya pun ekonom-ekonom ortodok seperti Anda juga menolak buku saya meskipun di pihak lain masyarakat umum menerimanya dengan baik”. Sekarang, 6 tahun kemudian, ketika krisis “multidimensi” yang dihadapi Indonesia belum dapat dianggap mereda, terbukti teori Ormerod benar. Namun demikian, ilmu ekonomi dengan para ekonomnya yang gemar membuat ramalan, meskipun hampir selalu terbukti ramalan-ramalan yang dibuat meleset, tetap saja ilmu ekonomi yang sama diajarkan kepada siswa dan mahasiswa ekonomi kita tanpa ada yang berani menunjuk berbagai kekurangan dan kelemahannya.[5][3] Ilmu ekonomi kapitalis-liberal dari Barat ini harus dianggap sedang mengalami krisis di Indonesia. Tantangan krisis ilmu ekonomi ini harus kita jawab, sekarang juga.
[6][3] Lihat Mubyarto, 2004, Teknokrat dan Ekonomi Pancasila, Aditya Media, Yogyakarta.

Kesalahan Fundamental Ilmu Ekonomi
Salah satu kelemahan mendasar ilmu ekonomi konvensional, bila diterapkan di Indonesia, adalah ketika menganggap bahwa fenomena ekonomi yang bisa dianalisis hanyalah yang terjadi di pasar atau tentang komoditi yang dipertukarkan di pasar. Bahkan lebih fatal lagi jika dibuat “model ekonomi” (abstrak-matematis) bahwa pasar hanya mengenal 2 sektor ekonomi saja yaitu sektor produksi (dilakukan perusahaan), dan sektor konsumsi (dilakukan rumah tangga). Dengan asumsi yang demikian jelas tidak dikenal adanya pelaku-pelaku ekonomi rakyat yang bertindak sekaligus sebagai produsen dan sebagai konsumen. Dengan demikian salah sekali asumsi dasar yang dipakai ilmu ekonomi konvensional bahwa hanya perusahaan saja yang dapat berproduksi dan berinvestasi, sedangkan rumah tangga tidak berproduksi tetapi hanya pandai berkonsumsi, yang juga berarti rumah tangga sama sekali tidak mampu berinvestasi. Orang pergi ke pasar untuk menjual/menawarkan tenaga kerja, tanah, dan modal yang dimilikinya tanpa diberi peluang menggunakannya sendiri untuk berproduksi. Ini jelas anggapan atau asumsi yang keliru. Rumah tangga dalam kenyataan ekonomi Indonesia mampu berinvestasi dari sumber-sumber dana sendiri, yang tidak perlu berasal dari sumber-sumber  pinjaman dari perbankan. Jadi rumah tangga pada kenyataannya juga mampu berproduksi. Maka sangat aneh dan jelas keliru, kalau tanpa mengadakan penelitian, ada pakar ekonomi yang berpandangan bahwa “sejak krismon 1997 ekonomi Indonesia memang hanya melakukan konsumsi, tidak ada kegiatan produksi, dan kenaikan konsumsi bangsa yang sangat besar telah dipenuhi dari impor dan penyelundupan (impor illegal)”. Ini jelas pandangan yang keliru dan menyesatkan.
 
Masalah Pengangguran dan Kemiskinan
Dengan model ekonomi ortodok-konvensional tersebut di atas, sangat logis untuk menyatakan bahwa masalah paling utama yang dihadapi ekonomi Indonesia dewasa ini adalah masalah pengangguran, karena orang/manusia dianggap tidak dapat menggunakan sendiri tenaga kerjanya untuk berproduksi (self employment). Ia selalu harus ke pasar menjual tenaganya (wage employment). Juga tanah dan modal sebagai faktor-faktor produksi harus “dijual” pemiliknya ke pasar. Dengan perkataan lain buku-buku teks ekonomi konvensional Barat tidak mengenal kerja mandiri, tetapi hanya dikenal kerja upahan (wage employment).
Yang benar, masalah utama  ekonomi Indonesia dewasa ini bukanlah pengangguran tetapi kemiskinan, dengan penjelasan sangat sederhana, bahwa mereka yang menganggur tidak selalu miskin, sedangkan orang miskin selalu hidup dalam serba kekurangan. Data-data atau angka tentang penganggur Indonesia tidak pernah disertai keterangan apakah mereka dalam keadaan hidup “normal” atau dalam keadaan “kesusahan”. Lain halnya di negara-negara yang sudah maju yang para penganggurnya, karena pasti miskin, mendapat jaminan biaya hidup 2 minggu sekali. Tabel 1 menunjukkan betapa pentingnya kerja mandiri (self-employment) di Indonesia, yang pada tahun 2001 mencapai 41,6% dari jumlah tenaga kerja keseluruhan (90,8 juta orang), sedangkan kerja upahan (wage- employment) hanya 29,3%, kurang dari sepertiga.
Alasan lain, yang keliru, mengapa pengangguran biasanya dianggap sebagai masalah paling utama adalah karena pemecahannya (secara teoritis) sudah tersedia, yaitu melalui pertumbuhan ekonomi yang mampu (secara teori) menyerap tenaga kerja yang menganggur. Pertumbuhan ekonomi membutuhkan penanaman modal (investasi), utamanya dari investor luar negeri. Contoh lain tentang adanya “teori yang dikarang” atau “direka-reka” dikisahkan oleh Prof. Kenneth Galbraith dari Universitas Harvard. Dalam teori ekonomi pembangunan dikatakan bahwa negara-negara berkembang, agar maju ekonominya, membutuhkan modal dan teknologi. Teori ini bukan hasil penelitian serius tetapi “dikarang”, agar Amerika yang kebetulan memiliki modal dan teknologi, dapat “membantu” pembangunan ekonomi negara-negara berkembang dalam bentuk foreign aid. Banyak “teori ekonomi” yang ditulis dalam buku-buku teks ekonomi Barat sebenarnya merupakan “karangan” belaka yang jika dilaksanakan ternyata akan lebih menguntungkan para pemodal/investor dari negara-negara industri maju dan berdampak negatif bagi penduduk terutama penduduk miskin di negara-negara berkembang.
 
Ilmu Ekonomi Koperasi
Kesimpulan sementara kita sangat jelas bahwa ilmu ekonomi ortodok konvensional (Neoklasik) yang berasal dari Barat harus dianggap “ilmu yang tidak ada manfaatnya, atau tidak semuanya relevan untuk diajarkan di Indonesia”. Bahkan seandainya kita tidak merasa perlu mengaitkan ilmu ekonomi dengan ideologi bangsa Indonesia yaitu Pancasila (Ekonomi Pancasila), ilmu ekonomi Barat tidak dapat dijadikan alat (tool) untuk membantu manusia Indonesia memenuhi kebutuhan sosialnya. Karena sudah jelas kebutuhan manusia tidak hanya kebutuhan ekonomi yang bersifat materiil saja, tetapi juga kebutuhan sosial (dan etik), maka ilmu ekonomi yang harus dipelajari dan diajarkan di Indonesia adalah ilmu ekonomi koperasi (social economics, bukan economics). Setiap orang tidak mungkin hidup sendiri atau hanya memikirkan diri sendiri. Ia harus selalu berpikir dan berbuat dengan memikirkan orang lain. Ia harus selalu bekerjasama dengan orang lain. Bahkan di pasar si penjual perlu pembeli agar terjadi transaksi jual beli.
Ilmu ekonomi koperasi, berbeda dengan ilmu ekonomi ortodok, mengajarkan cara-cara bekerjasama bukan cara-cara bersaing. Bersaing dapat mencapai efisiensi tetapi bekerja sama juga dapat menghasilkan efisiensi tinggi. Jadi, kalau dalam ilmu ekonomi ortodok hanya dikenal model-model persaingan sempurna, kepada siswa dan mahasiswa harus diajarkan juga model-model kerjasama sempurna maupun kerjasama yang kurang sempurna. Ilmu ekonomi koperasi berasaskan kekeluargaan, dan disesuaikan dengan pelaksanaan ajaran pepatah Jawa “tuna satak bathi sanak”, yang berarti “rugi sedikit tidak apa-apa asal tambah kerabat”. Ilmu ekonomi yang diajarkan di SMA harus kembali disebut dan diajarkan sebagai Ilmu Ekonomi Koperasi.
 
Ekonomika Etik
Adalah Prof. Ace Partadiredja (alm) yang mendambakan dikembangkannya ekonomika atau ilmu ekonomi etik, yaitu ilmu ekonomi yang tidak semata-mata mengajarkan keserakahan akan alam benda.[7][4] Jika ilmu ekonomi koperasi mengajarkan cara-cara manusia bekerjasama dalam memenuhi kebutuhannya dengan sebaik-baiknya, maka ilmu ekonomi etik mengajarkan perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan etiknya dengan berpedoman pada ajaran-ajaran moral agama. Sungguh mengagumkan firman Allah dalam Surat An Nuur dan Ar Ruum sebagai berikut:
[8][4] Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonomika Etik, 1981.
Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas (An Nuur: 38).
 
Allah-lah yang menciptakan kamu kemudian memberimu rezeki (Ar Ruum: 40).
Tentang Kemahakuasaan Allah dalam mengatur rezeki umat manusia ini sungguh tepat firman Allah lain yang berikut:
Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan (rezeki) untuk mereka; sehingga apabila mereka bersuka-ria dengan apa (rezeki) yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam dan berputus asa. (Al Anam: 44)
Apakah tidak cukup jelas bahwa firman Allah ini ternyata tidak sejalan dengan ajaran ekonomi ortodok yang selalu menyatakan bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas, sedangkan alat pemenuhan kebutuhan (rezeki) terbatas adanya? Meskipun terasa “menyakitkan” tokh harus kita katakan bahwa asumsi dasar ajaran ekonomi ortodok Barat yang kita pelajari selama ini memang  bertentangan dengan ajaran agama, tidak saja agama Islam tetapi juga semua agama yang ada dan dikenal di dunia.
The Old Testament can almost be read as a celebration of the abundance which the divine has provided for His followers. Economics may stress the concept of limited resources, but scarcity is not something usually comes to mind when reading the Bible. (Wilson, 1997: 27)
(Perjanjian Lama hampir dapat dibaca sebagai pengakuan tentang kelimpahan yang telah diberikan Tuhan kepada umatnya. Ilmu ekonomi boleh saja menekankan pada konsep keterbatasan sumberdaya, tetapi kelangkaan bukanlah yang selalu muncul dalam pikiran jika kita baca kitab Injil).
 
Penutup
Sejak ilmu ekonomi menjadi ilmu yang spesialistis dan “dipisahkan” dari induknya yaitu ilmu sosial dan ilmu moral (khususnya oleh Paul Samuelson dan Lionel Robbins), terutama dengan digunakannya matematika (ekonometri), ilmu ini memang terasa makin “kering”, “tidak realistis” dan makin “tidak relevan”. Itulah sebabnya di Amerika terbit buku Is Economics Relevant? (Heilbroner & Arthur Ford, 1971), dan What’s Wrong With Economics (Benjamin Ward, 1972). Meskipun demikian, terbitnya buku-buku ini tetap saja tidak mampu menghentikan kecenderungan makin menjauhnya ilmu ekonomi dari ilmu-ilmu sosial dan moral tersebut. Orang mudah lupa bahwa Adam Smith tidak hanya menulis Wealth of Nations (1776), tetapi 17 tahun sebelumnya juga menulis buku The Theory of Moral Sentiments (1759).  
Alfred Marshall, yang kebetulan juga ahli matematika, mengingatkan para ekonom untuk tidak kebablasan menggunakan matematika murni dalam analisis-analisis ekonomi. Sebenarnya matematika lebih tepat dipergunakan ekonom “untuk keperluan sendiri”, tidak untuk “mengintimidasi” pihak-pihak lain.
The chief use of pure mathematics in economic questions seems to be in helping a person to write down quickly, shortly, and exactly, some of his thoughts for his own use.(Marshall, 1890: x)
 
(Penggunaan utama dari matematika murni dalam pertanyaan-pertanyaan ekonomi adalah untuk membantu seseorang untuk menulis secara cepat, singkat, dan tepat, pikiran-pikirannya untuk keperluan sendiri).
Pada tahun 1988 terbit buku Amitai Etzioni, The Moral Dimension: Toward a New Economics, dan tahun 2001 terbit buku Robert Nelson Economics as Religion. Kedua buku ini memprotes keras ajaran ekonomi yang sudah mendekati “ajaran agama” yang sulit dibantah dengan penelitian-penelitian ilmiah, kuantitatif maupun kualitatif. Kebanyakan ekonom Indonesia tidak tahu, atau tidak mau tahu, adanya buku “Anti Samuelson” oleh Marc Linder yang terbit dalam 2 jilid (Macroeconomics dan Microeconomics) tahun 1977.
Kini, kita di Indonesia, sudah makin diyakinkan betapa ilmu ekonomi ortodok yang mengajarkan “keserakahan atas alam benda” itu, sama sekali tidak mampu membantu bangsa Indonesia mengatasi masalah-masalah ekonomi-sosial-moral yang melanda bangsa sejak krismon 1997/1998. Maka kita yang sempat belajar ilmu ekonomi sudah seharusnya berusaha keras mengembangkan ajaran ilmu ekonomi baru yang lebih realistis dan lebih relevan bagi kehidupan nyata bangsa Indonesia (real-economic life), dan dapat dipakai untuk menyusun resep-resep pengobatan yang dapat membantu mengatasi masalah-masalah ekonomi yang sudah menjadi sangat komplek.
Pakar-pakar ekonomi perlu menyadari tantangan besar krisis ilmu ekonomi yang kini dihadapi Indonesia. Kita harus bekerja keras, dan lebih banyak lagi mengadakan kajian-kajian yang dapat menghasilkan gagasan-gagasan bagi pengembangan ilmu ekonomi baru di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi kita. Ilmu ekonomi baru ini disebut ilmu ekonomi Pancasila, yaitu ilmu ekonomi pasar yang taat mematuhi “jiwa” kelima asas Pancasila, dan setia pada filsafat Pancasila secara utuh yaitu kekeluargaan dan gotong-royong.

3 Agustus 2004

Bacaan
1.             Ekins, Paul & Manfred Max-Neef, 1992, Real-Life Economics, Roudledge, London.
2.             Etzioni, Amitai, 1988, The Moral Dimension: Toward a New Economics, Collier Macmillan Publishers, New York.
3.             Keen, Steve, 2001, Debunking Econmics, Pluto Press, Australia.
4.             Linder, Marc, 1977, Anti-Samuelson Volume One: Macro-economics, Urizen Book, New York.
5.             Linder, Marc, 1977, Anti-Samuelson, Volume Two: Micro-economics, Urizen Book, New York.
6.             Marshall, Alfred, 1890, Principles of Economics, Macmillan.
7.             Mubyarto & Daniel Bromley, 2002, A Development Alternative for Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
8.             Nelson, Robert H., 2001, Economics as Religion, The Pennsylvania State University Press. Pennsylvania.
9.             Ormerod, Paul, 1994, The Death of Economics, Faber and Faber, London.
10.         Simbolon, Parakitri T., 1997, Matinya Ilmu Ekonomi Jilid I: Dari Krisis ke Krisis (terjemahan), Kepustakaan Populer Gramedia. 
11.         Smith, Adam, 1976, The Wealth of Nations, The University of Chicago Press.
12.         Smith, Adam, 1997, The Theory of Moral Sentiments, Regnary Publishing, Washington, USA.
13.         Van den Berg, Aart N., 1998, God and The Economy, Eburon Publishers, Delft, Netherlands.
14.         Wilson, Rodney, 1997, Economics, Ethics and Religion, London, MacMillan Press Ltd.