Oleh:
Prof. Dr. Mubyarto -- Guru
Besar FE-UGM Yogyakarta, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila UGM
Pendahuluan 
Di kalangan orang-orang awam sering terjadi
kebingungan, mengapa teknokrat ekonomi yang telah dianggap menjadi “pahlawan
pembangunan ekonomi” pada dan selama 32 tahun Orde Baru, tidak berdaya menyusun
kebijakan-kebijakan ekonomi serupa untuk menyelamatkan keterpurukan ekonomi
Indonesia yang terkena krisis moneter (krismon) sejak 1997/1998. Selanjutnya
ada kesan terjadinya “pengulangan sejarah”. Indonesia kini mengundang
pakar-pakar ekonomi kaliber dunia (IMF, IBRD, dan UNSFIR) untuk mengatasi
“kekacauan” ekonomi-keuangan-perbankan yang terjadi. Bahkan lebih tragis lagi
jika sering timbul kesan, pakar-pakar ekonomi Indonesia harus mengakui “lebih
bodoh” ketimbang pakar-pakar ekonomi asing (bule) dalam kemampuan
menganalisis masalah-masalah ekonomi Indonesia, padahal pakar-pakar ekonomi
asing yang “menasehati” pakar-pakar kita, sebenarnya tidak paham tentang
ekonomi Indonesia. 
Pada tahun 2002, bersama rekan
Daniel Bromley dari Universitas Wisconsin, kami mengkonstatasi bahwa
pakar-pakar ekonomi Indonesia yang memperoleh pendidikan tinggi dalam ilmu
ekonomi “Mazhab Amerika”, setelah pulang ke negerinya dengan membawa peralatan
teori ekonomi yang abstrak, serta merta menyusun rekomendasi dan menerapkan
kebijakan ekonomi yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi, sekaligus mengira
pertumbuhan ekonomi itu juga memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan
pada seluruh bangsa dan rakyat Indonesia.[2][2] 
[3][1] Makalah untuk eminar Bulanan ke-19
PUSTEP-UGM, Yogyakarta, 3 Agustus 2004.
[4][2] Mubyarto & Daniel W. Bromley, 2002, A
Development Alternative for Indonesia, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Anggapan keliru bahwa pertumbuhan
ekonomi secara otomatis memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan kepada seluruh
rakyat inilah yang kemudian membuat mereka (teknokrat) bersikukuh bahwa krisis
dalam bidang ekonomi-keuangan yang (dianggap) masih berlangsung dewasa ini
pasti dapat diobati dengan resep-resep yang sama yaitu liberalisasi (lebih
jauh) dan deregulasi seperti pada awal Orde Baru. Keyakinan akan
kebenaran teori-teori ekonomi konvensional (Barat) inilah yang pada hemat kami
menjadi sebab utama tidak teratasinya “krisis-ekonomi” dewasa ini. Kami
berpendapat bahwa sebenarnya Indonesia dewasa ini tidak mengalami “krisis-ekonomi”,
tetapi menghadapi “krisis ilmu ekonomi”. Artinya kita tidak mungkin
dapat keluar dari krisis yang kita hadapi jika tidak bersedia mengkaji ulang
seluruh teori ekonomi dan ilmu ekonomi konvensional Barat. Teori-teori
ekonomi ini telah menguasai pikiran pakar-pakar ekonomi arus utama dan
dijadikan pegangan perumusan kebijakan dan strategi pembangunan ekonomi
Indonesia selama 3 dekade. 
Devinisi
Ilmu ekonomi ditinjau kembali 
Jika diakui bahwa kebutuhan orang
Indonesia tidak hanya terdiri atas kebutuhan ekonomi materiil saja,
tetapi juga kebutuhan sosial, dan kebutuhan etik, maka jelas
definisi ilmu ekonomi Alfred Marshall yang berikut harus dikoreksi. 
Political economy or economics
is a study of mankind in the ordinary business of life; it examines that part
of individual and social action which is most closely connected with the
attainment and with the use of material requisites of well being (
Marshall, 1890: 1). 
(Ilmu ekonomi adalah kajian tentang manusia dalam kehidupannya
sehari-hari; ia mempelajari bagian tindakan-tindakan individu dan tindakan
bersama yang terkait paling erat dengan pencapaian dan pemanfaatan kebutuhan-kebutuhan
materiil  bagi kesejahteraannya).
Guru-guru ekonomi bangsa
Indonesia, terutama yang sama sekali tidak menyangsikan Pancasila sebagai
filsafat dasar dan pandangan hidup bangsa, tentu tidak akan mengajarkan ilmu
ekonomi Neoklasik Barat tanpa mengingatkan siswa/mahasiswanya, bahwa ilmu ini
sebenarnya hanya mempelajari “sepertiga” perilaku sehari-hari manusia dalam
memenuhi kebutuhannya, karena kebutuhan sosial dan kebutuhan etik,
yang sebenarnya sama pentingnya, diabaikan. Dua kebutuhan non-materiil
ini jelas sama pentingnya bila manusia ingin hidup tenteram dengan
masyarakatnya, dan ingin menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa pada
Tuhan Yang Maha Esa. 
Ilmu
Ekonomi (Ortodok) telah Mati 
Pada tahun 1997 ketika krisis
moneter mulai menular ke Indonesia dari Thailand, Gramedia menerbitkan sebuah
buku terjemahan yang ditulis seorang ekonom Inggris Prof. Paul Ormerod. Buku
ini disadur Parakitri Simbolon dalam bentuk komik kartun yang menarik. Ketika
pertama kali terbit tahun 1994 (The Death of Economics), buku ini
membuat geger dan penulisnya dicaci maki para ekonom ortodok, meskipun pada
saat yang sama dipuji-puji pembaca umum. Paul
Ormerod berceramah di Jakarta tanggal 15 Januari 1998, hari yang sama ketika
Presiden Soeharto menandatangani surat “penyerahan diri” (pasrah bongkokan)
pada IMF. Nasib ekonomi Indonesia diserahkan bulat-bulat pada pakar-pakar
ekonomi IMF. Para ekonom Indonesia yang ditugasi membahas buku dan  mengomentari pikiran-pikiran Ormerod yaitu
Profesor-profesor Suhadi Mangkusuwondo, Emil Salim dan Thee Kian Wie menyatakan
dengan tegas “Anda keliru dengan teori ekonomi Anda!”. Menanggapi tudingan ini
Ormerod ternyata tidak marah atau berkecil hati. Ia menyatakan “di negara saya
pun ekonom-ekonom ortodok seperti Anda juga menolak buku saya meskipun di pihak
lain masyarakat umum menerimanya dengan baik”. Sekarang, 6 tahun kemudian,
ketika krisis “multidimensi” yang dihadapi Indonesia belum dapat dianggap
mereda, terbukti teori Ormerod benar. Namun demikian, ilmu ekonomi dengan para ekonomnya
yang gemar membuat ramalan, meskipun hampir selalu terbukti ramalan-ramalan
yang dibuat meleset, tetap saja ilmu ekonomi yang sama diajarkan kepada siswa
dan mahasiswa ekonomi kita tanpa ada yang berani menunjuk berbagai kekurangan
dan kelemahannya.[5][3] Ilmu ekonomi kapitalis-liberal
dari Barat ini harus dianggap sedang mengalami krisis di Indonesia. Tantangan
krisis ilmu ekonomi ini harus kita jawab, sekarang juga. 
Kesalahan
Fundamental Ilmu Ekonomi 
Salah satu kelemahan mendasar
ilmu ekonomi konvensional, bila diterapkan di Indonesia, adalah ketika
menganggap bahwa fenomena ekonomi yang bisa dianalisis hanyalah yang terjadi di
pasar atau tentang komoditi yang dipertukarkan di pasar. Bahkan
lebih fatal lagi jika dibuat “model ekonomi” (abstrak-matematis) bahwa pasar
hanya mengenal 2 sektor ekonomi saja yaitu sektor produksi (dilakukan
perusahaan), dan sektor konsumsi (dilakukan rumah tangga). Dengan asumsi
yang demikian jelas tidak dikenal adanya pelaku-pelaku ekonomi rakyat
yang bertindak sekaligus sebagai produsen dan sebagai konsumen. Dengan demikian
salah sekali asumsi dasar yang dipakai ilmu ekonomi konvensional bahwa hanya
perusahaan saja yang dapat berproduksi dan berinvestasi,
sedangkan rumah tangga tidak berproduksi tetapi hanya pandai berkonsumsi,
yang juga berarti rumah tangga sama sekali tidak mampu berinvestasi.
Orang pergi ke pasar untuk menjual/menawarkan tenaga kerja, tanah, dan
modal yang dimilikinya tanpa diberi peluang menggunakannya sendiri untuk
berproduksi. Ini jelas anggapan atau asumsi yang keliru. Rumah tangga dalam
kenyataan ekonomi Indonesia mampu berinvestasi dari sumber-sumber dana sendiri,
yang tidak perlu berasal dari sumber-sumber 
pinjaman dari perbankan. Jadi rumah tangga pada kenyataannya juga mampu
berproduksi. Maka sangat aneh dan jelas keliru, kalau tanpa mengadakan
penelitian, ada pakar ekonomi yang berpandangan bahwa “sejak krismon 1997
ekonomi Indonesia memang hanya melakukan konsumsi, tidak ada kegiatan produksi,
dan kenaikan konsumsi bangsa yang sangat besar telah dipenuhi dari impor dan
penyelundupan (impor illegal)”. Ini jelas pandangan yang keliru dan
menyesatkan. 
Masalah
Pengangguran dan Kemiskinan 
Dengan model ekonomi
ortodok-konvensional tersebut di atas, sangat logis untuk menyatakan bahwa
masalah paling utama yang dihadapi ekonomi Indonesia dewasa ini adalah masalah pengangguran,
karena orang/manusia dianggap tidak dapat menggunakan sendiri tenaga kerjanya
untuk berproduksi (self employment). Ia selalu harus ke pasar menjual
tenaganya (wage employment). Juga tanah dan modal sebagai faktor-faktor
produksi harus “dijual” pemiliknya ke pasar. Dengan perkataan lain buku-buku
teks ekonomi konvensional Barat tidak mengenal kerja mandiri,
tetapi hanya dikenal kerja upahan (wage employment). 
Yang benar, masalah utama  ekonomi Indonesia dewasa ini bukanlah pengangguran
tetapi kemiskinan, dengan penjelasan sangat sederhana, bahwa mereka
yang menganggur tidak selalu miskin, sedangkan orang miskin selalu hidup dalam
serba kekurangan. Data-data atau angka tentang penganggur Indonesia tidak
pernah disertai keterangan apakah mereka dalam keadaan hidup “normal” atau
dalam keadaan “kesusahan”. Lain halnya di negara-negara yang sudah maju yang
para penganggurnya, karena pasti miskin, mendapat jaminan biaya hidup 2 minggu
sekali. Tabel 1 menunjukkan betapa pentingnya kerja mandiri (self-employment)
di Indonesia, yang pada tahun 2001 mencapai 41,6% dari jumlah tenaga
kerja keseluruhan (90,8 juta orang), sedangkan kerja upahan (wage-
employment) hanya 29,3%, kurang dari sepertiga. 
Alasan lain, yang keliru, mengapa
pengangguran biasanya dianggap sebagai masalah paling utama adalah karena pemecahannya
(secara teoritis) sudah tersedia, yaitu melalui pertumbuhan ekonomi yang
mampu (secara teori) menyerap tenaga kerja yang menganggur. Pertumbuhan
ekonomi membutuhkan penanaman modal (investasi), utamanya dari investor
luar negeri. Contoh lain tentang adanya “teori yang dikarang” atau
“direka-reka” dikisahkan oleh Prof. Kenneth Galbraith dari Universitas Harvard.
Dalam teori ekonomi pembangunan dikatakan bahwa negara-negara berkembang, agar
maju ekonominya, membutuhkan modal dan teknologi. Teori ini bukan
hasil penelitian serius tetapi “dikarang”, agar Amerika yang kebetulan memiliki
modal dan teknologi, dapat “membantu” pembangunan ekonomi
negara-negara berkembang dalam bentuk foreign aid. Banyak “teori ekonomi”
yang ditulis dalam buku-buku teks ekonomi Barat sebenarnya merupakan “karangan”
belaka yang jika dilaksanakan ternyata akan lebih menguntungkan para
pemodal/investor dari negara-negara industri maju dan berdampak negatif bagi
penduduk terutama penduduk miskin di negara-negara berkembang. 
Ilmu
Ekonomi Koperasi 
Kesimpulan sementara kita sangat
jelas bahwa ilmu ekonomi ortodok konvensional (Neoklasik) yang berasal dari
Barat harus dianggap “ilmu yang tidak ada manfaatnya, atau tidak semuanya
relevan untuk diajarkan di Indonesia”. Bahkan seandainya kita tidak merasa
perlu mengaitkan ilmu ekonomi dengan ideologi bangsa Indonesia yaitu Pancasila
(Ekonomi Pancasila), ilmu ekonomi Barat tidak dapat dijadikan alat (tool)
untuk membantu manusia Indonesia memenuhi kebutuhan sosialnya. Karena
sudah jelas kebutuhan manusia tidak hanya kebutuhan ekonomi yang bersifat materiil
saja, tetapi juga kebutuhan sosial (dan etik), maka ilmu
ekonomi yang harus dipelajari dan diajarkan di Indonesia adalah ilmu ekonomi
koperasi (social economics, bukan economics).
Setiap orang tidak mungkin hidup sendiri atau hanya memikirkan diri sendiri. Ia
harus selalu berpikir dan berbuat dengan memikirkan orang lain. Ia harus selalu
bekerjasama dengan orang lain. Bahkan di pasar si penjual perlu pembeli
agar terjadi transaksi jual beli. 
Ilmu ekonomi koperasi,
berbeda dengan ilmu ekonomi ortodok, mengajarkan cara-cara bekerjasama
bukan cara-cara bersaing. Bersaing dapat mencapai efisiensi tetapi
bekerja sama juga dapat menghasilkan efisiensi tinggi. Jadi, kalau dalam ilmu
ekonomi ortodok hanya dikenal model-model persaingan sempurna, kepada
siswa dan mahasiswa harus diajarkan juga model-model kerjasama sempurna
maupun kerjasama yang kurang sempurna. Ilmu ekonomi koperasi berasaskan kekeluargaan,
dan disesuaikan dengan pelaksanaan ajaran pepatah Jawa “tuna satak bathi
sanak”, yang berarti “rugi sedikit tidak apa-apa asal tambah kerabat”. Ilmu
ekonomi yang diajarkan di SMA harus kembali disebut dan diajarkan sebagai Ilmu
Ekonomi Koperasi. 
Ekonomika
Etik 
Adalah Prof. Ace Partadiredja (alm) yang mendambakan
dikembangkannya ekonomika atau ilmu ekonomi etik, yaitu ilmu
ekonomi yang tidak semata-mata mengajarkan keserakahan akan alam benda.[7][4] Jika ilmu ekonomi koperasi mengajarkan
cara-cara manusia bekerjasama dalam memenuhi kebutuhannya dengan
sebaik-baiknya, maka ilmu ekonomi etik mengajarkan perilaku manusia dalam
memenuhi kebutuhan etiknya dengan berpedoman pada ajaran-ajaran moral agama.
Sungguh mengagumkan firman Allah dalam Surat An Nuur dan Ar Ruum sebagai
berikut: 
[8][4] Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Ekonomi, Ekonomika
Etik, 1981.
Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas (An
Nuur: 38). 
Allah-lah yang menciptakan kamu kemudian memberimu rezeki (Ar
Ruum: 40). 
Tentang Kemahakuasaan Allah dalam mengatur rezeki
umat manusia ini sungguh tepat firman Allah lain yang berikut: 
Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada
mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan (rezeki) untuk mereka;
sehingga apabila mereka bersuka-ria dengan apa (rezeki) yang telah diberikan
kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu
mereka terdiam dan berputus asa. (Al Anam: 44) 
Apakah tidak cukup jelas bahwa
firman Allah ini ternyata tidak sejalan dengan ajaran ekonomi ortodok
yang selalu menyatakan bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas, sedangkan
alat pemenuhan kebutuhan (rezeki) terbatas adanya? Meskipun terasa
“menyakitkan” tokh harus kita katakan bahwa asumsi dasar ajaran ekonomi
ortodok Barat yang kita pelajari selama ini memang  bertentangan dengan ajaran agama,
tidak saja agama Islam tetapi juga semua agama yang ada dan dikenal di dunia. 
The Old Testament can almost be read as a celebration of the abundance
which the divine has provided for His followers. Economics may stress
the concept of limited resources, but scarcity is not something
usually comes to mind when reading the Bible. (Wilson, 1997: 27) 
(Perjanjian Lama hampir dapat dibaca sebagai
pengakuan tentang kelimpahan yang telah diberikan Tuhan kepada umatnya.
Ilmu ekonomi boleh saja menekankan pada konsep keterbatasan sumberdaya,
tetapi kelangkaan bukanlah yang selalu muncul dalam pikiran jika kita
baca kitab Injil). 
Penutup 
Sejak ilmu ekonomi menjadi ilmu
yang spesialistis dan “dipisahkan” dari induknya yaitu ilmu sosial dan
ilmu moral (khususnya oleh Paul Samuelson dan Lionel Robbins), terutama
dengan digunakannya matematika (ekonometri), ilmu ini memang terasa
makin “kering”, “tidak realistis” dan makin “tidak relevan”. Itulah sebabnya di
Amerika terbit buku Is Economics Relevant? (Heilbroner & Arthur
Ford, 1971), dan What’s Wrong With Economics (Benjamin Ward, 1972).
Meskipun demikian, terbitnya buku-buku ini tetap saja tidak mampu menghentikan
kecenderungan makin menjauhnya ilmu ekonomi dari ilmu-ilmu sosial dan moral
tersebut. Orang mudah lupa bahwa Adam Smith tidak hanya menulis Wealth
of Nations (1776), tetapi 17 tahun sebelumnya juga menulis buku The
Theory of Moral Sentiments (1759).  
Alfred Marshall, yang kebetulan
juga ahli matematika, mengingatkan para ekonom untuk tidak kebablasan
menggunakan matematika murni dalam analisis-analisis ekonomi. Sebenarnya
matematika lebih tepat dipergunakan ekonom “untuk keperluan sendiri”, tidak
untuk “mengintimidasi” pihak-pihak lain. 
The chief use of pure mathematics in economic questions seems to be in
helping a person to write down quickly, shortly, and exactly, some of his
thoughts for his own use.(Marshall, 1890: x) 
(Penggunaan utama dari matematika murni dalam pertanyaan-pertanyaan
ekonomi adalah untuk membantu seseorang untuk menulis secara cepat, singkat,
dan tepat, pikiran-pikirannya untuk keperluan sendiri). 
Pada tahun 1988 terbit buku
Amitai Etzioni, The Moral Dimension: Toward a New Economics, dan tahun
2001 terbit buku Robert Nelson Economics as Religion. Kedua buku ini
memprotes keras ajaran ekonomi yang sudah mendekati “ajaran agama” yang sulit
dibantah dengan penelitian-penelitian ilmiah, kuantitatif maupun kualitatif.
Kebanyakan ekonom Indonesia tidak tahu, atau tidak mau tahu, adanya buku “Anti
Samuelson” oleh Marc Linder yang terbit dalam 2 jilid (Macroeconomics
dan Microeconomics) tahun 1977. 
Kini, kita di Indonesia, sudah
makin diyakinkan betapa ilmu ekonomi ortodok yang mengajarkan “keserakahan atas
alam benda” itu, sama sekali tidak mampu membantu bangsa Indonesia mengatasi
masalah-masalah ekonomi-sosial-moral yang melanda bangsa sejak krismon
1997/1998. Maka kita yang sempat belajar ilmu ekonomi sudah seharusnya
berusaha keras mengembangkan ajaran ilmu ekonomi baru yang lebih
realistis dan lebih relevan bagi kehidupan nyata bangsa Indonesia (real-economic
life), dan dapat dipakai untuk menyusun resep-resep pengobatan yang dapat
membantu mengatasi masalah-masalah ekonomi yang sudah menjadi sangat komplek. 
Pakar-pakar ekonomi perlu
menyadari tantangan besar krisis ilmu ekonomi yang kini dihadapi
Indonesia. Kita harus bekerja keras, dan lebih banyak lagi mengadakan
kajian-kajian yang dapat menghasilkan gagasan-gagasan bagi pengembangan ilmu
ekonomi baru di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi kita. Ilmu ekonomi
baru ini disebut ilmu ekonomi Pancasila, yaitu ilmu ekonomi pasar yang
taat mematuhi “jiwa” kelima asas Pancasila, dan setia pada filsafat Pancasila
secara utuh yaitu kekeluargaan dan gotong-royong. 
3 Agustus 2004 
Bacaan 
1.            
Ekins, Paul & Manfred Max-Neef, 1992, Real-Life Economics,
Roudledge, London. 
2.            
Etzioni, Amitai, 1988, The Moral Dimension: Toward a New Economics,
Collier Macmillan Publishers, New York. 
3.            
Keen, Steve, 2001, Debunking Econmics, Pluto Press, Australia. 
4.            
Linder, Marc, 1977, Anti-Samuelson Volume One: Macro-economics,
Urizen Book, New York. 
5.            
Linder, Marc, 1977, Anti-Samuelson, Volume Two:
Micro-economics, Urizen Book, New York. 
6.            
Marshall, Alfred, 1890, Principles of Economics, Macmillan. 
7.            
Mubyarto & Daniel Bromley, 2002, A Development Alternative for
Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta 
8.            
Nelson, Robert H., 2001, Economics as Religion, The Pennsylvania
State University Press. Pennsylvania. 
9.            
Ormerod, Paul, 1994, The Death of Economics, Faber and Faber,
London. 
10.         Simbolon,
Parakitri T., 1997, Matinya Ilmu Ekonomi Jilid I: Dari Krisis ke Krisis
(terjemahan), Kepustakaan Populer Gramedia. 
11.         Smith,
Adam, 1976, The Wealth of Nations, The University of Chicago Press. 
12.         Smith,
Adam, 1997, The Theory of Moral Sentiments, Regnary Publishing,
Washington, USA. 
13.         Van den
Berg, Aart N., 1998, God and The Economy, Eburon Publishers, Delft,
Netherlands. 
14.         Wilson,
Rodney, 1997, Economics, Ethics and Religion, London, MacMillan Press
Ltd.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar